September 30, 2016

Preview Film: Regression (2015)


Di tengah membanjirnya film dongeng dan superhero yang didominasi oleh penggunaan special effect, film horror klasik tetap mendapat tempat tersendiri di kalangan moviemania. Apalagi, jika film horror tersebut diinspirasi oleh kisah nyata seperti halnya The Conjuring yang menuai kesuksean pada tahun 2013 yang lalu.

Tagline based on true story itu pula yang akhirnya membawa sutradara The Others (2001), Alejandro Amenabar, tertarik untuk menggarap Regression, film horror yang mengambil tema tentang pemujaan setan. Mengusung dua nama beken, Emma Watson, si Hermione Granger dalam franchise Harry Potter, dan Ethan Hawke, film berbujet USD 20 juta ini diharapkan mampu menyamai kesuksesan The Conjuring, Sinister, maupun Insidious.

Cerita Regression sendiri berpusat pada sosok Detektif Bruce Kenner (Ethan Hawke), seorang polisi yang tengah menyelediki kasus pencabulan ayah terhadap anak gadisnya di Minnesota, Amerika Serikat, pada tahun 1990. Setelah melakukan interogasi, Bruce mendapati bahwa Angela Gray (Emma Watson) yang masih berusia 17 tahun dicabuli ayahnya, John (David Dencik), karena dilatarbelakangi ritual pemujaan setan. Bruce pun kemudian berusaha membongkar kegiatan aliran sesat yang diikuti oleh John.

Angela sendiri mengalami depressi berat akibat perbuatan bejat ayahnya. Meski demikian, Bruce tetap berusaha keras mendapatkan informasi tanpa mengindahkan keadaan Angela. Anggota keluarga Gray yang lain juga tak luput dari interogasinya dengan menggunakan teknik regresi, yaitu sebuah metode eksperimental untuk menggali memori ciptaan Professor Kenneth Raines (David Thewlis).

Obsesi Bruce yang berlebihan dalam mengusut organisasi sesat tersebut akhirnya malah membuat dia tertekan. Bruce mulai mengalami mimpi buruk tentang ritual pemujaan setan. Semakin lama semakin intens dan membuat dia paranoid. Mampukah Bruce memecahkan kasus pelik yang membuatnya penasaran ini?

Kehadiran dua bintang dengan nama terkenal sempat mengangkat film Regression. Sutradara Alejandro Amenabar sendiri memuji akting Ethan Hawke dan Emma Watson dalam memerankan sosok Bruce dan Angela. Keduanya dia nilai mampu menampilkan karakter orang yang sedang depresi dengan apik. Kesan panik yang diperlihatkan oleh Hawke dan Watson juga tampak alamiah sehingga mampu membawa suasana semakin mencekam.

Namun, setelah dirilis pada bulan Oktober 2015 di Eropa serta bulan Februari 2016 di Amerika Serikat (di Indonesia sendiri baru akan ditayangkan pada bulan September 2016), Regression menuai rating yang negatif dari sejumlah situs review. Ritual pemujaan setannya biasa saja dan tidak mengerikan. Film berdurasi 106 menit ini dianggap kurang horror dan lebih cocok disebut sebagai drama misteri. Alur ceritanya juga dinilai membosankan dan bertele-tele. Apalagi, ending-nya ternyata mengecewakan. Alejandro Amenabar gagal menghadirkan psychological thriller twist yang mengagetkan.

***

Regression

Sutradara: Alejandro Amenábar
Produser: Alejandro Amenábar, Fernando Bovaira, Christina Piovesan
Penulis Skenario: Alejandro Amenábar
Pemain: Ethan Hawke, Emma Watson, David Thewlis, Lothaire Bluteau, Dale Dickey, David Dencik, Peter MacNeill, Devon Bostick, Aaron Ashmore
Musik: Roque Baños
Sinematografi: Daniel Aranyó
Penyunting: Carolina Martínez Urbina
Produksi: First Generation Films, Himenóptero, Mod Producciones, Telecinco Cinema, Telefónica Studios
Distributor: The Weinstein Company (Amerika Serikat), Universal Pictures (Spanyol), Elevation Pictures (Kanada)
Budget: USD 20 juta
Durasi: 106 menit
Rilis: 2 Oktober 2015 (Spanyol), 9 Oktober 2015 (Inggris), 5 Februari 2016 (Amerika Serikat), 30 September 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 5,7
Rotten Tomatoes: 14%
Metacritic: 32


Preview Film: Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (2016)


Tim Burton adalah sutradara terkenal yang kerap menghasilkan film-film fantasi yang banyak disukai penonton. Sebut saja, Edward Scissorhands (1990), Charlie and the Chocolate Factory (2005), dan Alice in Wonderland (2010).

Tahun ini, sutradara Batman (1989) dan Batman Returns (1992) tersebut kembali terlibat dalam dua proyek film fantasi. Yang pertama adalah Alice Through the Looking Glass. Hanya saja, di sekuel Alice in Wonderland ini, dia hanya bertindak sebagai produser, bukan sutradara.

Hasil yang ditorehkan oleh Alice Through the Looking Glass ternyata cukup mengecewakan. Selain mendapat kritik negatif dari para pengamat, film rilisan Disney tersebut juga jeblok di pasaran. Tidak mampu mengulangi pendahulunya yang mampu meraup pemasukan di atas USD 1 miliar secara global.

Daya magis Tim Burton dalam memikat hati penonton pun mulai dipertanyakan. Lewat film fantasi keduanya tahun ini, yang berjudul Miss Peregrine's Home for Peculiar Children, di mana dia terjun langsung sebagai sutradara, nama besar pria berusia 58 tahun tersebut dipertaruhkan.

Dengan mengadaptasi novel best-seller berjudul sama karya Ransom Riggs, Burton menggarap Miss Peregrine's Home for Peculiar Children dengan tampilan yang lebih kelam daripada film-film fantasi lain yang pernah dia hasilkan. Menurut Riggs, kisah dalam buku karangannya tersebut memang dark, tapi juga ada unsur fun-nya. Oleh karena itu, tidak ada sutradara yang lebih pas untuk membesutnya selain Burton.

Untuk menulis naskahnya, Burton kemudian menggandeng Jane Goldman. Perempuan berusia 46 tahun dengan ukuran payudara jumbo tersebut sudah berpengalaman dalam menghasilkan skenario film-film terkenal semacam Kick-Ass (2010), X-Men: First Class (2011), The Woman in Black (2012), dan Kingsman: The Secret Service (2015).

Miss Peregrine's Home for Peculiar Children sendiri mengisahkan tentang petualangan seorang bocah ababil bernama Jacob Portman (Asa Butterfield). Sejak kecil, Jake, demikian ia biasa disapa, sering didongengi oleh kakeknya, Abraham (Terence Stamp), tentang rumah Miss Peregrine yang konon dihuni oleh anak-anak dengan kemampuan khusus. Bahkan, dia mengaku pernah tinggal di sana setelah Perang Dunia berakhir.

Saat Jake menginjak usia remaja, sang kakek tiba-tiba meninggal secara misterius. Sebelumnya, dia sering bermimpi dan mengigau tentang monster dan rumah Miss Peregrine. Abraham juga sempat meninggalkan wasiat. Dia meminta Jake untuk pergi mencari rumah tersebut.

Sebagai cucu yang berbakti, Jake pun memenuhi permintaan terakhir kakeknya. Ababil 16 tahun tersebut pergi ke rumah Miss Peregrine (Eva Green) yang terletak di Cairnholm Island. Di sana, dia mendapati bahwa memang benar adanya para peculiar children seperti yang pernah diceritakan oleh Abraham.

Anak tertua yang menghuni rumah misterius tersebut bernama Emma Bloom (Ella Purnell). Meski sifatnya sedikit menjengkelkan, dia punya kemampuan mengendalikan cuaca dan menciptakan gelembung cair yang bisa membuatnya melayang di udara.

Di versi film ini, kemampuan Emma sedikit berbeda dengan di versi novel. Atau, lebih tepatnya, ditukar dengan kekuatan Olive Elephanta. Karakter yang diperankan oleh Lauren McCrostie itu punya kemampuan pyrokinesis, alias mengendalikan api. Saat masih berusia 10 tahun, Olive pernah membakar ranjangnya sendiri. Padahal, ketika itu, dia sedang tertidur pulas.

Selain dua cewek di atas, masih ada banyak bocah-bocah aneh lainnya, seperti Hugh Apiston (Milo Parker), yang mampu mengendalikan lebah yang hidup dalam perutnya (iya, lebah), dan Millard Nullings (Cameron King), si invisible boy yang tidak kasat mata dan sangat cerdik.

Sementara itu, si Jacob sendiri ternyata juga memiliki keistimewaan yang baru dia sadari saat tiba di rumah Miss Peregrine. Cucu Abraham tersebut mampu merasakan hollowness, alias aura jahat yang dipancarkan para monster yang mengincar anak-anak dengan kemampuan super.

Jake pun akhirnya terpaksa membantu Miss Peregrine untuk melindungi para peculiar children dari ancaman para monster jahat yang dipimpin oleh Mr. Barron (Samuel L. Jackson). Selain itu, dia juga masih penasaran ingin mengungkap misteri yang menyelimuti kematian kakeknya.

Meski ada beberapa bagian cerita yang diubah dan penambahan beberapa tokoh jahat yang baru, secara garis besar, kisah Miss Peregrine's Home for Peculiar Children ini tidak berbeda jauh dari novelnya. Selama ini, Tim Burton memang suka melakukan beberapa eksperimen agar film adaptasinya menjadi lebih menarik.

Untuk tempat syutingnya, Burton menggunakan tiga lokasi yang berbeda. Yang pertama adalah di Florida, Amerika Serikat, yang menjadi tempat adegan pembuka. Lalu, yang kedua di Portholland, Inggris, yang menjadi lokasi bagi pantai fiksi Wales yang hanya dihuni oleh 40 orang penduduk. Sementara itu, untuk setting rumah Miss Peregrine, tim produksi mengambil tempat di Torenhof Castle di Brasschaat, Belgia.

Lokasi-lokasi tersebut sengaja dipilih karena memang cocok dengan unsur kelam yang ingin ditampilkan oleh Burton. Para penonton diharapkan bisa ikut merasakan keanehan dan keganjilan setelah menonton adegan yang diambil dari tempat-tempat tersebut.

Burton sendiri terinspirasi untuk membuat film rilisan 20th Century Fox ini menjadi lebih dark setelah melihat foto-foto klasik dan vintage dari para peculiar children di novelnya. Sang pengarang, Ransom Riggs, mengaku mulanya mendapatkan gambar-gambar kuno tersebut dari pasar loak. Riggs kemudian mencoba membuat alur cerita berdasarkan foto-foto itu. Dia merasa ada sebuah misteri dan emosi kelam saat melihat gambar-gambar yang dia kumpulkan tersebut.

Hal lain yang menarik perhatian di Miss Peregrine's Home for Peculiar Children adalah penampilan Eva Green sebagai bintang utamanya. Bisa dibilang, film berdurasi 127 menit ini adalah panggung besar perdana bagi aktris sexy asal Prancis berusia 36 tahun tersebut. Selama ini, Green hanya bermain sebagai supporting role di film-film terkenal semacam Kingdom of Heaven (2005) dan James Bond's Casino Royale (2006).

Setelah tayang perdana di Fantastic Fest pada hari Minggu (25/9) yang lalu, film berbujet USD 110 juta ini mendapat review yang lumayan dari beberapa situs dan kritikus. Meski narasinya dianggap masih kurang, secara visual, film 3D dark fantasy adventure ini cukup kuat, seperti karya-karya Tim Burton sebelumnya.

***

Miss Peregrine's Home for Peculiar Children

Sutradara: Tim Burton
Produser: Peter Chernin, Jenno Topping
Penulis Skenario: Jane Goldman
Pengarang Cerita: Matthew Sand
Berdasarkan: Miss Peregrine's Home for Peculiar Children by Ransom Riggs
Pemain: Eva Green, Asa Butterfield, Chris O'Dowd, Allison Janney, Rupert Everett, Terence Stamp, Ella Purnell, Judi Dench, Samuel L. Jackson
Musik: Mike Higham
Sinematografi: Bruno Delbonnel
Editor: Chris Lebenzon
Produksi: Chernin Entertainment, Tim Burton Productions, TSG Entertainment
Distributor: 20th Century Fox
Durasi: 127 menit
Budget: USD 110 juta
Rilis: 25 September 2016 (Fantastic Fest), 30 September 2016 (Indonesia & Amerika Serikat)

Ratings

IMDb: 7,4
Rotten Tomatoes: 61%
Metacritic: 53


Preview Film: Deepwater Horizon (2016)


Sekitar enam tahun yang lalu, tepatnya pada 20 April 2010, sebuah kilang minyak bawah laut milik British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko, Amerika Serikat, tiba-tiba meledak dan menghamburkan ratusan juta galon emas hitam tersebut ke lautan. Tragedi itulah yang kemudian diangkat ke layar lebar oleh Summit Entertainment.

Film berjudul Deepwater Horizon tersebut bakal mengisahkan detik-detik terjadinya ledakan dan perjuangan para pekerja yang berupaya menyelamatkan diri mereka dari kobaran api. Menurut laporan, sebanyak 11 orang tewas dalam salah satu insiden pengeboran minyak terdahsyat sepanjang sejarah tersebut.

Diadaptasi dari sebuah artikel terbitan New York Times yang berjudul Deepwater Horizon's Final Hours, film besutan sutradara Peter Berg ini akan berfokus pada kepahlawanan seorang teknisi elektronik bernama Mike Williams. Karakter yang diperankan oleh Mark Wahlberg tersebut tak pernah menyangka hidupnya bakal berubah drastis tatkala kilang minyak tempatnya bekerja meledak dengan hebat.

Didasari oleh rasa cintanya pada sang istri, Felicia (Kate Hudson), dan anak gadis semata wayangnya, Mike pun berusaha mati-matian untuk bertahan hidup agar bisa berkumpul kembali dengan keluarganya di rumah. Bersama para pekerja lainnya, seperti Jimmy Harrell (Kurt Russell), Donald Vidrine (John Malkovich), Caleb Holloway (Dylan O'Brien), dan Andrea Fleytas (Gina Rodriguez), Mike kemudian bahu-membahu untuk menyelamatkan diri dari kobaran api dan ledakan besar di tengah lautan.

Proyek film berbujet jumbo, USD 156 juta, ini sebenarnya sudah terdengar sejak 8 Maret 2011 kala Summit Entertainment, Participant Media, dan Imagenation membeli hak untuk memfilmkan artikel Deepwater Horizon's Final Hours yang diterbitkan oleh New York Times pada 25 Desember 2010. Meski demikian, proses syuting perdana baru bisa dimulai pada 27 April 2015 di New Orleans, Louisiana, Amerika Serikat.

Molornya penggarapan Deepwater Horizon ini, salah satunya disebabkan oleh mundurnya sang sutradara, J. C. Chandor, karena perbedaan ide kreatif dengan para produser. Sebagai pengganti, pada 30 Januari 2015, Peter Berg ditunjuk untuk menyutradarai film berdurasi 109 menit ini.

Sebelum ini, Peter Berg cukup sukses saat menulis dan membesut Lone Survivor (2013), yang juga diangkat dari kisah nyata. Uniknya, saat itu, sutradara berusia 52 tahun tersebut juga berkolaborasi dengan Mark Wahlberg, yang memerankan Marcus Luttrell, satu-satunya anggota Navy SEALs yang selamat dari pembantaian di pegunungan di Afghanistan tersebut.

Selain Mark Wahlberg, Deepwater Horizon ini juga diperkuat oleh sejumlah bintang terkenal Hollywood, semacam Kurt Russell, John Malkovich, Gina Rodriguez, dan aktor utama franchise film The Maze Runner, Dylan O'Brien. Sebagai pemanis, ada si sexy Kate Hudson, yang juga merupakan anak tiri dari Kurt Russell. Dan, di film inilah, untuk pertama kalinya mereka main bareng.

Setelah diputar perdana di Toronto International Film Festival pada 13 September 2016 yang lalu, Deepwater Horizon mendapat standing ovation yang meriah. Sejumlah situs review pun memberi rating yang cukup positif.

Film yang naskahnya ditulis oleh Matthew Sand ini dinilai mampu menghadirkan action thriller yang menegangkan, sekaligus mengaduk-aduk emosi penonton. Bahkan, ada pengamat yang memperkirakan, bakal banyak orang awam yang marah pada British Petroleum, selaku pihak yang dianggap harus bertanggung jawah atas insiden tersebut, setelah menonton Deepwater Horizon.

***

Deepwater Horizon

Sutradara: Peter Berg
Produser: Lorenzo Di Bonaventura, Mark Vahradian, David Womark
Penulis Skenario: Matthew Michael Carnahan, Matthew Sand
Pengarang Cerita: Matthew Sand
Berdasarkan: Deepwater Horizon's Final Hours by David Barstoe, David Rohde, Stephanie Saul
Pemain: Mark Wahlberg, Kurt Russell, John Malkovich, Gina Rodriguez, Dylan O'Brien, Kate Hudson
Musik: Steve Jablonsky
Sinematografi: Enrique Chediak
Editor: Colby Parker Jr., Gabriel Fleming
Produksi: Participant Media, Di Bonaventura Pictures, Closest to the Hole Productions, Leverage Entertainment
Distributor: Summit Entertainment
Durasi: 107 menit
Budget: USD 156 juta
Rilis: 13 September 2016 (TIFF), 28 September 2016 (Indonesia), 30 September 2016 (Amerika Serikat)

Ratings

IMDb: 7,3
Rotten Tomatoes: 88%
Metacritic: 64



September 25, 2016

Preview Film: USS Indianapolis: Men of Courage (2016)


Satu lagi film berlatar Perang Dunia II dirilis di layar lebar. Kali ini berjudul USS Indianapolis: Men of Courage. Mengangkat kisah nyata tenggelamnya kapal USS Indianapolis di Laut Filipina pada 30 Juli 1945. Dengan bintang utamanya aktor kawakan, Nicolas Cage.

Nama lain yang juga menarik perhatian adalah Thomas Jane, tokoh utama film Deep Blue Sea (1999), serta Cody Walker, adik mendiang Paul "Fast & Furious" Walker. Mereka memerankan kru kapal di USS Indianapolis: Men of Courage. Film yang disutradarai oleh Mario Van Peebles ini memang berfokus pada keberanian para awak kapal yang dipimpin oleh Kapten Charles McVay (Nicolas Cage).

Seperti yang tercatat dalam sejarah, pada medio 1945, kapal milik angkatan laut Amerika Serikat tersebut mendapat tugas mengangkut beberapa bagian penting untuk membuat bom atom ke Tinian yang terletak di Kepulauan Mariana Utara, Samudera Pasifik. Pulau kecil tersebut cukup terkenal karena menjadi basis militer Sekutu yang berniat meluluh-lantakkan Jepang dengan bom berkekuatan dahsyat.

USS Indianapolis sebenarnya berhasil menuntaskan misi mereka. Namun, sepulang dari Tinian, tepatnya di Laut Filipina, kapal yang kala itu mengangkut 1.197 kru tersebut di-torpedo oleh kapal selam I-58 milik Jepang. Sebanyak 300 orang awak kapal ikut tenggelam ke dasar laut. Sisanya, bisa menyelamatkan diri.

Akan tetapi, mimpi buruk belum berakhir. Mereka yang selamat terombang-ambing di laut tanpa makanan dan minuman selama lima hari. Selain itu, juga ada serangan dari ikan hiu! Sejarah mencatat, hanya 317 orang yang akhirnya mampu survive. Sisanya, mati dehidrasi, keracunan air laut, dan banyak yang dimakan hiu!

Nah, film yang diproduksi oleh Hannibal Classics ini bakal menonjolkan perjuangan para awak kapal USS Indianapolis dalam bertahan hidup tersebut. Penulisan skenario berlangsung hampir lima tahun karena harus menggali informasi dari kesaksian para kru yang selamat. US Navy sendiri turut membantu dalam finalisasi naskah. Tujuannya, agar kisah yang diangkat tidak melenceng dari fakta sejarah.

Proyek film yang diproduseri oleh Michael Mendelsohn dan Richard Rionda Del Castro ini sebenarnya sudah terdengar sejak 2011. Namun, karena lamanya penulisan naskah, proses syuting baru mulai dilakukan pada 19 Juni 2015. Hampir bertepatan dengan 70 tahun tenggelamnya USS Indianapolis.

Hannibal Classics kemudian menggandeng Hydroflex dan Silo Inc. untuk melakukan syuting bawah laut dan menggarap efek digitalnya. Sementara itu, Walt Conti dari Edge Innovations digaet untuk menampilkan hiu-hiu lewat teknologi CGI (computer-generated imagery).

Film rilisan Saban ini tayang perdana di Filipina pada 24 Agustus 2016. Sayangnya, USS Indianapolis: Men of Courage mendapat respon kurang positif dari situs IMDb. Meski demikian, bagi yang menyukai film-film sejarah yang berkaitan dengan Perang Dunia II, tidak ada salahnya menonton aksi terbaru dari Nicolas Cage ini. Apalagi, cerita yang diangkat tampaknya cukup seru, karena seperti perpaduan Titanic (1997) dan Jaws (1975).

***

USS Indianapolis: Men of Courage

Sutradara: Mario Van Peebles
Produser: Michael Mendelsohn, Richard Rionda Del Castro
Penulis Skenario: Cam Cannon, Richard Rionda Del Castro
Pemain: Nicolas Cage, Tom Sizemore, Thomas Jane, Matt Lanter, Brian Presley, Cody Walker
Musik: Laurent Eyquem
Sinematografi: Andrzej Sekula
Editor: Robert A. Ferretti
Produksi: USS Indianapolis Production, Hannibal Classics
Distributor: Saban Films
Rilis: 24 Agustus 2016 (Filipina), 1 September 2016 (Amerika Serikat), 23 September 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 5,0


September 24, 2016

Preview Film: Storks (2016)


Kesuksesan The Lego Movie (2014) yang mampu meraup pemasukan setengah miliar dolar tampaknya membuat Warner Bros. Pictures ketagihan membuat film animasi. Melalui salah satu divisinya, Warner Animation Group, pesaing Disney tersebut siap menelurkan beberapa produk andalan. Salah satunya adalah Storks, yang tayang mulai hari Jumat (23/9) ini.

Film berbujet USD 70 juta tersebut rencananya menjadi pemanasan bagi Warner Bros. sebelum merilis The Lego Batman Movie dan The Lego Ninjago Movie tahun depan. Kisah Storks sendiri terinspirasi dari legenda burung bangau yang menurut dongeng selalu mengirimkan bayi-bayi untuk pasangan suami-istri yang menginginkan kehadiran buah hati.

Dibesut oleh duo sutradara Nicholas Stoller dan Doug Sweetland, Storks mengisahkan kehidupan para bangau tersebut di era modern. Yang menarik, sesuai dengan tuntutan jaman yang serba digital, mereka tidak lagi bertugas mengantarkan bayi, melainkan bekerja sebagai kurir pengirim barang di perusahaan online global Cornerstore.

Di antara para bangau putih tersebut, ada yang bernama Junior (Andy Samberg). Karirnya sebagai mas-mas tukang delivery di Cornerstore sangat cemerlang. Dia bakal dipromosikan, alias naik pangkat, sebagai atasan. Namun, kekacauan terjadi. Suatu ketika, tanpa disengaja, si Junior mengaktifkan mesin pembuat bayi yang sudah lama tidak digunakan di Storks Mountain. Seorang bayi cewek lucu pun tercipta. 

Di tengah kebingungannya, Junior mendapat bantuan dari assistennya, Tulip (Katie Crown), satu-satunya pekerja manusia di Cornerstore. Untuk menghindari masalah yang lebih besar, mereka kemudian berjuang mencarikan keluarga yang tepat bagi bayi mungil tersebut. Berbagai ancaman pun menghadang. Termasuk dari seekor burung merpati jahat. Mampukah Junior dan Tulip menuntaskan misi mereka?

Salah satu faktor yang menarik dari Storks adalah deretan pengisi suaranya. Selain Andy Samberg yang selama ini menjadi dubber di Cloudy With a Chance of Meatballs (2009) dan Hotel Transylvania (2012), juga ada Kelsey Grammer, bintang serial sitkom terkenal, Frasier, yang pernah mengisi suara di film Toy Story 2 (1999).

Namun, yang paling ditunggu adalah Jennifer Aniston. Mantan istri Brad Pitt, yang sekarang sedang digugat cerai oleh Angelina Jolie, tersebut mengisi suara karakter Sarah Gardner, seorang ibu yang dipusingkan oleh anaknya yang meminta saudara baru.

Proyek Storks ini sebenarnya sudah diumumkan sejak Januari 2013 oleh Warner Bros. Namun, karena penggodokan ide ceritanya yang lama dan penggarapannya yang detail membuat film berdurasi 89 menit ini baru bisa dirilis pada September 2016.

Dua sutradara yang dipilih Warner Bros. untuk membesut Storks juga merupakan sosok yang berpengalaman. Meski demikian, background mereka berbeda. Nicholas Stoller selama ini lebih banyak mengarap film komedi remaja semacam Neighbors (2014). Sedangkan, Doug Sweetland memang seorang animator yang sudah piawai dalam menghasilkan seabrek film animasi terkenal, mulai dari Toy Story (1995), A Bug's Life (1998), Monsters, Inc. (2001), Finding Nemo (2003), The Incredibles (2004), sampai Cars (2006). 

Di film animasi pertamanya ini, Stoller juga merangkap sebagai penulis naskah dan produser lewat rumah produksinya, Stoller Global Solutions. Berdasarkan pengalaman langsung sebagai ayah dari dua anak perempuan, pria 40 tahun tersebut ingin menghasilkan sebuah film keluarga yang sarat emosi, sekaligus lucu. Pesan moralnya tentang perjuangan para orang tua demi memperoleh buah hati.

Tema yang menyentuh tersebut kemudian dipadukan dengan unsur komedi yang menarik dengan menggaet sederetan aktor dengan suara unik semacam Andy Samberg, Ty Burrell, Kelsey Grammer, dan Jennifer Aniston. Para bintang komedi yang sudah berpengalaman tersebut semakin menghidupkan Storks dengan improvisasi yang mereka lakukan.

Bahkan, saat melakukan rekaman suara, sutradara Nick Stoller sampai membuang naskah yang sudah disiapkan karena dia merasa hal itu membuat para aktor kurang nyaman. Proses recording audio yang dilakukan secara bersama-sama itu akhirnya tuntas dalam tempo dua jam. Para dubber menjadi bebas berkreasi dan terjalin chemistry yang sangat baik di antara mereka.

Sutradara Doug Sweetland juga mengakui bahwa improvisasi tanpa script yang dilakukan oleh para aktor tersebut membuat dialog antar tokoh menjadi lebih cair dan tidak kaku. Harapannya, Storks menjadi sebuah film animasi keluarga yang menghibur dan menyentuh hati, dengan punch line komedi yang menggelitik.

Setelah diputar secara terbatas di Regency Village Theater pada 17 September 2016, Storks mendapat rating yang cukup positif dari sejumlah situs review. Secara box office, Warner Bros. menargetkan pemasukan sebesar USD 30 juta selama opening weekend. Jika tercapai, itu bakal menjadi rekor tertinggi bagi film animasi yang dirilis pada bulan September.

***

Storks

Sutradara: Nicholas Stoller, Doug Sweetland
Produser: Brad Lewis, Nicholas Stoller
Penulis Skenario: Nicholas Stoller
Pemain: Andy Samberg, Katie Crown, Kelsey Grammer, Keegan-Michael Key, Jordan Peele, Jennifer Aniston, Ty Burrell, Danny Trejo, Stephen Kramer Glickman
Musik: Mychael Danna, Jeff Danna
Editor: John Venzon
Produksi: Warner Animation Group, RatPac-Dunne Entertainment, Stoller Global Solutions
Distributor: Warner Bros. Pictures
Durasi: 89 menit
Budget: USD 70 juta
Rilis: 17 September 2016 (Regency Village Theater), 23 September 2016 (Amerika Serikat & Indonesia)

Ratings

IMDb: 7,8
Rotten Tomatoes: 60%
Metacritic: 63




September 22, 2016

Preview Film: The Magnificent Seven (2016)


The Magnificent Seven menjadi salah satu film western yang paling ditunggu-tunggu tahun ini. Penyebabnya, jelas. Film koboi ini dibintangi oleh sejumlah aktor papan atas Hollywood. Sebut saja, Denzel Washington, Ethan Hawke, Chris Pratt, Peter Sarsgaard, dan bintang asal Korea, Lee Byung Hun.

Selain itu, judul film rilisan MGM dan Columbia Pictures ini sudah cukup terkenal di kalangan moviegoers angkatan lama karena merupakan remake dari film western berjudul sama edisi tahun 1960 yang dibintangi sejumlah aktor kawakan semacam Yul Brynner, Steve McQueen, dan Charles Bronson. Uniknya lagi, The Magnificent Seven versi jadul tersebut sebenarnya juga merupakan remake dari film Jepang berformat hitam-putih yang berjudul Seven Samurai (1954), karya sutradara legendaris, Akira Kurosawa.

Karena merupakan remake untuk kedua kalinya, maka cerita The Magnificent Seven versi terbaru ini masih mirip-mirip dengan dua film pendahulunya. Yaitu, tentang tujuh orang koboi yang disewa oleh Emma Cullen (Haley Bennett) untuk melawan pengusaha korup, Bartholomew Bogue (Peter Sarsgaard), yang meresahkan para penduduk di kota kecil, Rose Creek.

The Magnificent Seven sendiri sebenarnya adalah sekumpulan bandit pelanggar hukum yang dipimpin oleh seorang bounty hunter bernama Sam Chisolm (Denzel Washington). Dia ditemani oleh enam orang kriminal multietnis dengan keahlian masing-masing. Antara lain, seorang penjudi yang juga ahli bahan peledak, Josh Farraday (Chris Pratt); seorang penembak jitu, Goodnight Robicheaux (Ethan Hawke); seorang pencari jejak, Jack Horne (Vincent D'Onofrio); seorang pembunuh bayaran, Billy Rocks (Lee Byung Hun); seorang perampok asal Meksiko, Vasquez (Manuel Garcia-Rulfo); dan seorang pejuang Indian Comanche, Red Harvest (Martin Sensmeier).

Selain Denzel Washington, Chris Pratt, dan Ethan Hawke, bintang yang paling menarik perhatian di film garapan sutradara Antoine Fuqua ini adalah Lee Byung Hun. Aktor berusia 46 tahun tersebut sudah berpengalaman dalam bermain di film-film blockbuster. Di antaranya, franchise G. I. Joe dan Terminator Genisys (2015). The Magnificent Seven ini merupakan film Hollywood keenam yang dibintanginya.

Saat proses syuting, pemilik BH Entertainment tersebut mengaku paling akrab dengan Ethan Hawke. Dalam film, karakter yang mereka perankan memang sangat dekat. Billy Rocks yang diperankan Byung Hun selalu membantu Goodnight Robicheaux yang diperankan Ethan dengan membunuh lawan-lawan di belakangnya.

Dibandingkan tokoh-tokoh lain yang bersenjatakan pistol dan senapan, karakter Billy Rocks memang cukup unik dan berbeda karena dia jago melempar pisau. Dengan wajah khas Asia dan kumis tipisnya, sosok yang diperankan oleh suami Lee Min Jung itu sukses mencuri perhatian lewat trailer dan foto-foto promosional yang dirilis oleh tim produksi The Magnificent Seven.

Sementara itu, dalam menggarap film berbujet USD 108 juta ini, sutradara Antoine Fuqua mengakui dirinya memang sangat terinspirasi oleh Akira Kurosawa yang dulu menghasilkan Seven Samurai. Menurutnya, film jadul karya sutradara terbaik Jepang tersebut memang sangat menakjubkan dan akhirnya memantik dia untuk menggeluti dunia perfilman.

Beban yang cukup berat juga diemban oleh Fuqua untuk membuat The Magnificent Seven ini sesukses versi lawasnya. Apalagi, dengan alur cerita yang sudah bisa ditebak, sutradara Tears of the Sun (2003) tersebut harus menemukan cara untuk menggaet penonton. Salah satunya adalah dengan memasang jajaran cast yang tepat dan bernama besar.

Oleh karena itu, pria keling berusia 50 tahun tersebut langsung mengajak Denzel Washington dan Ethan Hawke yang dulu pernah sukses bersamanya meraih Piala Oscar dalam film Training Day (2001). Selain itu, Fuqua juga secara pribadi menelepon Chris Pratt untuk membujuknya agar mau ikut serta dalam proyek film berdurasi 133 menit ini.

Bagi Pratt, dan juga Washington, The Magnificent Seven ini merupakan film koboi pertama mereka. Maka dari itu, menarik untuk dinanti penampilan dua aktor yang sudah berpengalaman membintangi berbagai genre film tersebut.

Setelah diputar secara terbatas di Toronto International Film Festival, The Magnificent Seven mendapat rating yang cukup lumayan dari sejumlah situs review. Secara box office, film yang bakal dirilis secara global pada 23 September 2016 ini diramal mampu meraup USD 40-50 juta dalam pekan pertamanya.

***

The Magnificent Seven

Sutradara: Antoine Fuqua
Produser: Roger Birnbaum, Todd Black
Penulis Skenario: Nic Pizzolatto, Richard Wenk
Berdasarkan: Seven Samurai by Akira Kurosawa, Shinobu Hashimoto, Hideo Oguni
Pemain: Denzel Washington, Chris Pratt, Ethan Hawke, Vincent D'Onofrio, Lee Byung Hun, Manuel Garcia-Rulfo, Martin Sensmeier, Haley Bennett, Peter Sarsgaard
Musik: James Horner, Simon Franglen
Sinematografi: Mauro Fiore
Editor: John Refoua
Produksi: LStar Capital, Village Roadshow Pictures, Pin High Productions, Escape Artists
Distributor: Metro-Goldwyn-Mayer, Columbia Pictures
Durasi: 133 menit
Budget: USD 108 juta
Rilis: 8 September 2016 (TIFF), 21 September 2016 (Indonesia), 23 September 2016 (Amerika Serikat)

Ratings

IMDb: 6,9
Rotten Tomatoes: 62%
Metacritic: 51


September 20, 2016

Preview Film: Blood Father (2016)


Pamor Mel Gibson sebagai aktor laga memang sudah menurun. Bintang franchise Mad Max itu akhir-akhir ini lebih banyak berkutat di bidang penyutradaraan. Meski demikian, kemampuannya sebagai pemain film action bukan berarti ikut memudar.

Bisa dibilang, tokoh utama franchise Lethal Weapon itu mirip anggur. Semakin tua, Mel Gibson semakin matang. Hal tersebut bisa kita nikmati dalam film laga terbarunya, Blood Father. Yang kabarnya mirip-mirip dengan franchise Taken, yang juga diperankan oleh aktor gaek, Liam Neeson.

Film action thriller yang disutradarai oleh Jean-Francois Richet tersebut diadaptasi dari novel berjudul sama karya Peter Craig. Mengisahkan tentang seorang pria bernama John Link (Mel Gibson), yang baru saja keluar dari penjara dan menjadi tukang tattoo di karavan miliknya. Setelah lama berpisah, John akhirnya dapat bertemu dengan putri kesayangannya, Lydia (Erin Moriarty).

Meski demikian, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Gadis ababil tersebut ternyata sedang diburu dan bakal dibunuh oleh mafia narkoba asal Meksiko. Dia diduga mengetahui uang mereka yang dicuri oleh pacarnya. Sebagai seorang ayah, tentu saja John berusaha untuk melindungi dan menyelamatkan Lydia dari rencana pembunuhan tersebut.

Jika melihat trailernya, Blood Father diwarnai oleh pemandangan gurun pasir dengan berbagai ledakan dahsyat, pertarungan brutal, tembak-tembakan, serta aksi kejar-kejaran menggunakan mobil dan moge (motor gede). Bahkan, kabarnya, lebih dari separuh bagian film bakal dipenuhi oleh adegan laga yang menegangkan.

Film berdurasi 88 menit ini sebenarnya sudah memulai proses produksi sejak 28 Maret 2014 dan syuting berlangsung selama bulan Juni 2014 di Albuquerque, New Mexico. Namun, baru dirilis pada 21 Mei 2016 di Festival Film Cannes.

Mel Gibson, awalnya, mengaku canggung untuk ikut bermain dalam Blood Father. Dia tidak mau hanya sekadar tampil untuk memenuhi kerinduan para fans yang sudah lama tidak menikmati aksinya dalam film laga. Sejak tahun 2006, bintang Braveheart (1995) ini memang lebih banyak berkutat di belakang layar sebagai sutradara.

Meski demikiam, keputusan Mel untuk terlibat dalam Blood Father terbukti tepat. Sejak dirilis pada 12 Agustus 2016, sejumlah situs review memberi rating positif. Tidak hanya menyajikan action thriller, film buatan Why Not Productions dan Wild Bunch ini dianggap menyelipkan pesan moral bahwa orang tua harus sekuat tenaga melindungi anaknya dari bahaya narkoba.

Hanya saja, meski mendapat kritik positif, setelah sebulan dirilis, Blood Father hanya meraup pemasukan USD 1 juta saja. Di Indonesia, yang baru tayang bulan September ini, juga cuma sedikit bioskop yang memutarnya. Padahal, ini adalah film action thriller yang kabarnya cukup berkualitas. Sayang sekali.

***

Blood Father

Sutradara: Jean-Francois Richet
Produser: Chris Briggs, Peter Craig, Pascal Caucheteux, Sebastien K. Lemercier
Penulis Skenario: Peter Craig
Berdasarkan: Blood Father by Peter Craig
Pemain: Mel Gibson, Erin Moriarty, Diego Luna, Michael Parks, William H. Macy
Musik: Sven Faulconer
Sinematografi: Robert Gantz
Editor: Steven Rosenblum
Produksi: Why Not Productions, Wild Bunch
Distributor: SND Films, Lionsgate (Amerika Serikat)
Durasi: 88 menit
Rilis: 21 Mei 2016 (Cannes), 12 Agustus 2016 (Amerika Serikat), 16 September 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 6,7
Rotten Tomatoes: 87%
Metacritic: 67


September 17, 2016

Preview Film: Morgan (2016)


Tahun lalu, para moviegoers sempat dipukau oleh sebuah film sci-fi thriller berjudul Ex Machina (2015). Penampilan Alicia Vikander sebagai robot yang menyerupai manusia kala itu mendapat banyak pujian. Film independen yang berbujet "hanya" USD 15 juta itu akhirnya menyabet Piala Oscar kategori Best Visual Effects, mengalahkan para nominator lainnya yang lebih terkenal, semacam The Martian, Mad Max: Fury Road, Star Wars: The Force Awakens, dan The Revenant.

Bulan September ini, 20th Century Fox merilis film yang bergenre sama dengan Ex Machina. Tentang makhluk hasil rekayasa genetika alias artificial humanoid. Dengan bujet yang lebih rendah dari Ex Machina. Hanya USD 8 juta. Dan memasang bintang cewek yang juga sedang naik daun, Kate Mara.

Dalam film berdurasi 92 menit ini, Kate Mara memerankan seorang konsultan manajemen risiko bernama Lee Weathers yang sedang bertugas menginspeksi sebuah laboratorium rahasia. Di tempat penelitian terpencil tersebut, dia mendapati sebuah eksperimen yang berhasil menciptakan makhluk serupa manusia. Tepatnya, seorang "gadis" kecil bernama Morgan (Anya Taylor-Joy).

Setelah dua percobaan sebelumnya tak menemui hasil, Morgan akhirnya bisa "dilahirkan" melalui sintesis DNA oleh para ilmuwan yang dipimpin Dr. Lui Cheng (Michelle Yeoh). Makhluk tersebut tumbuh dengan sangat cepat. Hanya dalam tempo enam bulan, perawakannya sudah seperti remaja, lengkap dengan emosinya yang mudah bete dan galau, khas cewek-cewek ababil.

Di balik penampilannya yang imut, Morgan ternyata memiliki kekuatan super. Dia bisa menggerakkan benda-benda dengan pikirannya. Untuk mencegah agar Morgan tidak melakukan sesuatu yang berbahaya, para peneliti akhirnya mengisolasinya dalam sebuah ruang kaca. Itu semua demi keselamatan mereka.

Saat bertemu dengan Lee, Morgan tiba-tiba lepas kendali dan menyerangnya. Lee pun mengalami dilema. Dia harus mengambil keputusan, apakah Morgan harus dilenyapkan? Karena di balik tampangnya yang cute tersebut, Morgan adalah makhluk berbahaya.

Situasi menjadi mencekam setelah Morgan mengetahui niat Lee yang ingin menghentikannya. Gadis kecil bertampang malaikat itu kemudian melakukan perlawanan. Bak monster, dia menghabisi satu-persatu pengancamnya. Bagaimana akhir dari nasib Morgan?

Film rilisan 20th Century Fox ini sebenarnya adalah film pertama besutan Luke Scott, putra dari sutradara kawakan, Ridley Scott, yang kali ini bertindak sebagai produser. Meski mengaku suka dengan Ex Machina, Scott menegaskan bahwa Morgan tidak meniru film garapan Alex Garland tersebut.

Selain menyajikan sci-fi sebagai tema utamanya, Scott juga berusaha mengemas alur cerita film perdananya ini dengan menarik. Dari yang awalnya tampak seperti drama biasa, menjadi sangat menegangkan dengan adegan thriller yang sangat mencekam. Bahkan, lebih mengerikan daripada Ex Machina. Dengan ending cerita yang juga sulit ditebak.

Meski demikian, Scott tidak ingin menampilkan sosok Morgan yang menakutkan bagi penonton. Beberapa adegan mengharukan dia selipkan. Terutama, tentang hubungan Morgan dengan ilmuwan penciptanya. Dia mengharapkan para penonton tidak membenci karakter pembunuh berwajah bayi tersebut.

Untuk memperdalam sisi ilmiah, Scott membaca hasil penelitian bioengineering tentang 3D printing untuk gen dari Singularity University. Selain itu, sutradara kelahiran tahun 1968 tersebut juga bertemu langsung dengan seorang ilmuwan dari Queen's University di Belfast, Irlandia Utara, yang menjelaskan bahwa sintesis DNA seperti di film Morgan sangat mungkin untuk dilakukan.

Hal menarik lainnya, Scott berusaha menampilkan laboratorium tempat melakukan eksperimen yang berbeda dengan film sci-fi lainnya. Dia membangun tempat Morgan "dilahirkan" tersebut serupa dengan rahim seorang perempuan!

Sayangnya, setelah dirilis sejak tanggal 2 September 2016 di Amerika Serikat, Morgan mendapat rating yang kurang positif dari sejumlah situs review. Meski idenya menarik, para pengamat menilai film yang naskahnya ditulis oleh Seth Owen ini gagal menampilkan cerita yang mengesankan layaknya Ex Machina. 

Secara box office, pemasukan Morgan pun cukup rendah. Hingga saat ini (16/9), film yang dibuat oleh Scott Free Productions tersebut hanya meraup USD 6,2 juta. Belum balik modal.

***

Morgan

Sutradara: Luke Scott
Produser: Ridley Scott, Michael Schaefer, Mark Huffam
Penulis Skenario: Seth Owen
Pemain: Kate Mara, Anya Taylor-Joy, Toby Jones, Rose Leslie, Boyd Holbrook, Michelle Yeoh, Jennifer Jason Leigh, Paul Giamatti
Musik: Max Richter
Sinematografi: Mark Patten
Editor: Laura Jennings
Produksi: Scott Free Productions
Distributor: 20th Century Fox
Budget: USD 8 juta
Durasi: 92 menit
Rilis: 2 September 2016 (Amerika Serikat), 16 September 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 6,0
Rotten Tomatoes: 40%
Metacritic: 48
CinemaScore: C+


Preview Film: Pete's Dragon (2016)


Kesuksesan Alice in Wonderland (2010) dan Maleficent (2014) membuat Disney mulai ketagihan untuk me-remake film-film animasi klasik mereka dalam bentuk live-action movie. Apalagi, setelah Cinderella (2015) juga mampu meraup pemasukan hingga USD 543 juta secara global.

Tahun ini, Disney kembali merilis beberapa film remake live-action. Yang pertama adalah The Jungle Book, yang juga sukses besar. Bahkan, menjadi yang tertinggi secara box office bila dibandingkan film-film remake live-action lainnya. Setelah itu, bulan Agustus kemarin, mereka "melepaskan" Pete's Dragon.

Film garapan sutradara David Lowery tersebut memang baru "mendapat layar" pada bulan September ini di Indonesia, bersanding dengan live-action Disney lainnya, The BFG, yang tayangnya juga telat di sini. Meski demikian, Pete's Dragon menjanjikan live-action yang lebih seru dengan efek CGI (computer-generated imagery) yang lebih canggih.

Seperti halnya The Jungle Book, Disney sebenarnya sudah merilis film animasi musikal Pete's Dragon pada tahun 1977. Dua karakter utamanya juga tetap sama, yaitu Pete (Oakes Fegley) dan Elliot the Dragon (John Kassir). Akan tetapi, kisah yang mereka angkat di versi remake live-action-nya kali ini cukup berbeda.

Salah satu bagian yang membedakan dengan versi animasinya adalah dihilangkannya adegan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua angkat Pete, yaitu Gogans family. Di versi remake-nya, karakter keluarga jahat itu sama sekali dihapus. Sutradara David Lowery memang ingin menyajikan film yang fun dan bisa dinikmati oleh anak-anak.

Maka dari itu, kisah Pete's Dragon versi live-action ini memang tidak mirip dengan film pendahulunya. Pete diceritakan sebagai bocah yatim piatu berusia 11 tahun yang tinggal sendirian di hutan setelah bokap dan nyokapnya meninggal karena kecelakaan. Dia kemudian menjalin persahabatan dengan seekor naga baik hati bernama Elliot.

Suatu ketika, Pete bertemu dengan seorang gadis kecil bernama Natalie (Oona Laurence) dan penjaga hutan bernama Grace (Bryce Dallas Howard). Ayahnya, seorang tukang kayu bernama Mr. Meacham (Robert Redford), sudah sering menceritakan kepadanya tentang sesosok naga misterius di hutan tersebut. Grace kemudian menjadi penasaran untuk mengungkap kebenarannya.

Keadaan menjadi runyam dengan kehadiran seorang pemburu bernama Gavin (Karl Urban) dan kawan-kawannya yang ingin menangkap Elliot. Mampukah Pete dan naganya menyelematkan diri sekaligus mengalahkan para penjahat tersebut?

Dibandingkan versi animasinya yang berwujud dua dimensi dengan perut buncit, rambut pink, dan gigi tonggos, penampakan sang naga di versi live-action ini tampak lebih nyata dengan bantuan CGI. Meski demikian, Elliot tetap terlihat cute karena dibuat berbulu hijau seperti seekor anjing. Sutradara David Lowery memang sengaja ingin menggambarkan karakter naga yang lucu sekaligus ganas.

Saat syuting, sosok Elliot sebenarnya hanya diwakili oleh sebuah bola tennis berwarna hijau. Sisanya adalah efek CGI. Oleh karena itu, dua bintang cilik, Oakes Fegley dan Oona Laurence, awalnya mengaku cukup berat saat harus membayangkan naga tersebut. Mereka harus berakting mengelus udara dan menangisi bola tennis, seakan-akan itu adalah Elliot. Tentu saja dibutuhkan imajinasi yang tinggi untuk mewujudkan peran tersebut.

Untungnya, kehadiran aktor dan aktris senior semacam Robert Redford, Karl Urban, dan Bryce Dallas Howard sangat membantu dua bocah tersebut. Mereka mengajari Oakes dan Oona untuk tetap tenang dan tidak stress dalam menghayati peran masing-masing.

Sementara itu, untuk menampilkan set hutan, tim produksi Pete's Dragon membuatnya dari busa dan styrofoam. David Lowery menggunakan bahan tersebut untuk menjaga agar para pemainnya tidak cedera saat melakukan syuting. Apalagi, kali ini, dia melibatkan dua bintang yang masih anak-anak.

Oakes pun mengaku sama sekali tidak kesakitan saat harus beradegan memanjat pohon atau tertimpa ranting karena semuanya terbuat dari busa yang lembut. Begitu juga Oona yang sampai membawa pulang batang pohon besar ke rumahnya sebagai kenang-kenangan setelah syuting.

Di lain pihak, aktor Karl Urban mengaku tertarik bermain di Pete's Dragon karena ingin memerankan karakter villain yang sangat berbeda dengan peran yang biasa dia mainkan. Bintang franchise Star Trek itu memang baru kali ini memerankan tokoh antagonis semacam Gavin.

Lain halnya dengan aktor sepuh Robert Redford yang memang ingin bermain dalam film animasi. Sebab, sejak kecil, bintang berusia 80 tahun itu sangat suka dengan dongeng dan cerita anak-anak. Selain itu, Redford juga tak bisa menolak tawaran dari David Lowery yang juga bekerja sama dengannya dalam The Old Man and the Gun yang bakal rilis pada tahun 2018.

David Lowery selama ini memang dikenal suka memakai kembali kru yang pernah bekerja dengannya. Sebut saja sang komposer, Daniel Hart, yang menggarap seluruh musik dalam semua filmnya. Begitu juga dengan sang desainer produksi, Jade Healy. Dengan demikian, chemistry yang terjalin di antara mereka menjadi semakin kuat.

Para kritikus juga banyak memuji kiprah Lowery dalam membesut Pete's Dragon. Menurut mereka, sutradara Peter Pan, yang waktu rilisnya belum ditentukan, itu mampu menyajikan film keluarga yang menghibur, berkualitas, dan menginspirasi anak-anak. Sejumlah situs review pun memberi rating positif untuk film berdurasi 102 menit tersebut.

Sayangnya, setelah dirilis selama sebulan, Pete's Dragon "hanya" mampu meraup pemasukan sebesar USD 103 juta. Secara box office, raihan film berbujet USD 65 juta tersebut masih kalah jauh bila dibandingkan dengan The Jungle Book, yang menjadi salah satu film berpendapatan tertinggi tahun ini dengan USD 964 juta.

***

Pete's Dragon

Sutradara: David Lowery
Produser: James Whitaker
Penulis Skenario: David Lowery, Toby Halbrooks
Berdasarkan: Pete's Dragon by Malcolm Marmorstein
Pemain: Bryce Dallas Howard, Oakes Fegley, Wes Bentley, Karl Urban, Oona Laurence, Robert Redford, John Kassir
Musik: Daniel Hart
Sinematografi: Bojan Bazelli
Editor: Lisa Zeno Churgin
Produksi: Walt Disney Pictures, Whitaker Entertainment
Distributor: Walt Disney Studios Motion Pictures
Budget: USD 65 juta
Durasi: 102 menit
Rilis: 8 Agustus 2016 (El Capitan Theare), 12 Agustus 2016 (Amerika Serikat), 14 September 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 7,3
Rotten Tomatoes: 86%
Metacritic: 71
CinemaScore: A


September 10, 2016

Preview Film: Nerve (2016)


Meski trend-nya sudah mulai menurun, novel-novel young-adult tampaknya masih mendapat tempat di dunia perfilman Hollywood. Lionsgate yang pernah sukses dengan The Hunger Games, kini merilis Nerve yang diadaptasi dari buku terbitan tahun 2012 berjudul sama karya Jeanne Ryan.

Dengan mengusung genre neo-noir techno-thriller adventure, Nerve mengangkat kisah yang berbeda bila dibandingkan dengan film young-adult lainnya. Yaitu, tentang reality game yang menyerupai "truth or dare", tapi versi online dengan banyak tantangan dan tipu daya. Cerita ini sekaligus untuk memyindir para ababil yang suka melontarkan challenge yang aneh-aneh di media sosial.

Para pemain Nerve bakal diberi hadiah uang dalam jumlah besar jika mampu menuntaskan tantangan-tantangan unik yang diinginkan oleh para penonton. Semakin sulit dan berat tantangannya, duit yang bakal diterima oleh si pemain juga bakal semakin banyak.

Bintang utama dalam film Nerve adalah Emma Roberts yang dulu menjadi pemeran utama di Scream 4 (2011). Lawan mainnya adalah adik James Franco, Dave, yang sebelum ini dikenal lewat perannya dalam Now You See Me (2013) dan Neighbors (2014).

Film berdurasi 96 menit ini mengisahkan tentang Vee Delmonico (Emma Roberts), seorang gadis ababil yang dibujuk oleh teman-temannya untuk mengikuti permainan Nerve. Vee kemudian dipasangkan dengan Ian (Dave Franco). Keduanya harus menuntaskan tantangan-tantangan yang diajukan oleh para penonton.

Semula, mereka sangat menikmati reality game online tersebut. Namun, seiring dengan meningkatnya popularitas, tantangan yang mereka terima dari para pemirsa menjadi semakin berbahaya. Bahkan, sampai mengancam hidup Vee dan Ian! Mampukah kedua ababil tersebut menyelesaikan permainan Nerve dengan selamat?

Sejak dirilis pada 27 Juli 2016 di Amerika Serikat, film yang juga dibintangi oleh Juliette Lewis ini memang tidak berhasil mendobrak box office. Meski demikian, dengan bujet produksi "hanya" USD 20 juta, Nerve bisa dibilang telah balik modal, bahkan, mampu menuai profit, karena hingga kini telah mengumpulkan pemasukan sampai USD 56 juta.

Sejumlah situs review pun memberikan rating yang cukup lumayan untuk film besutan duo sutradara, Henry Joost dan Ariel Schulman, ini. Dengan alurnya yang cepat, Nerve dianggap mampu menyajikan thriller yang mencekam untuk kategori film young-adult. Selain itu, kisahnya juga cukup fun dan memberi banyak gambaran tentang kehidupan remaja dan media sosial di masa kini.

***

Nerve

Sutradara: Henry Joost, Ariel Schulman
Produser: Allison Shearmur
Penulis Skenario: Jessica Sharzer
Berdasarkan: Nerve by Jeanne Ryan
Pemain: Emma Roberts, Dave Franco, Juliette Lewis
Musik: Rob Simonsen
Sinematografi: Michael Simmonds
Editor: Madeleine Gavin, Jeff McEvoy
Produksi: Allison Shearmur Productions, Keep Your Head Productions, Supermarche
Distributor: Lionsgate
Budget: USD 20 juta
Durasi: 96 menit
Rilis: 12 Juli 2016 (SVA Theater), 27 Juli 2016 (Amerika Serikat), 6 September 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 7,0
Rotten Tomatoes: 64%
Metacritic: 58
CinemaScore: A-


Preview Film: Sully (2016)


Bulan September ini, para moviemania disuguhi film drama biografi seorang pilot bernama Kapten Chesley "Sully" Sullenberger. Kisahnya mengangkat kejadian nyata pendaratan darurat sebuah pesawat Airbus di Sungai Hudson, New York, pada 15 Januari 2009, yang kemudian dikenal dengan sebutan "Miracle on the Hudson".

Film yang diadaptasi dari buku berjudul Highest Duty: My Search for What Really Matters (2009) karya sang pilot sendiri bersama Jeffrey Zaslow tersebut digarap oleh sutradara sepuh, Clint Eastwood. Meski dulu lebih dikenal sebagai aktor film koboi, jejak penyutradaraan kakek-kakek berusia 86 tahun tersebut tak bisa diremehkan. Unforgiven (1992) dan Million Dollar Baby (2004) yang berhasil menyabet Piala Oscar kategori Best Director dan Best Picture adalah buktinya.

Di film Sully ini, Eastwood tidak akan terlalu fokus pada reka ulang pendaratan darurat pesawat yang mencekam. Aktor pemeran Dirty Harry (1971) tersebut akan lebih menonjolkan drama yang terjadi setelah peristiwa "Miracle on the Hudson". Terutama, trauma dan tekanan yang dialami oleh sang pilot, Kapten Sully (Tom Hanks), dan kopilot, Jeffrey Skiles (Aaron Eckhart).

Pada saat itu, pesawat US Airways Flight 1549 mengalami kerusakan setelah menabrak sekawanan burung. Iya, burung. Kedua mesinnya mati. Tak bisa dinyalakan. Dalam situasi genting tersebut, Kapten Sully akhirnya mengambil keputusan untuk mendaratkan pesawatnya di Sungai Hudson. Dan.. Berhasil.

Sebanyak 150 penumpang dan 5 kru berhasil dievakuasi dan diselamatkan tanpa luka sedikit pun. Kapten Sully dianggap sebagai pahlawan oleh publik Amerika Serikat. Namun, tidak demikian halnya dengan Badan Keselamatan Transportasi Nasional (NTSB).

Menurut NTSB, pendaratan darurat di Sungai Hudson tersebut menyalahi prosedur. Mereka menilai, pesawat seharusnya masih bisa dibawa kembali ke Bandara LaGuardia, New York. Kapten Sully dan kopilotnya pun harus disidang untuk mempertanggungjawabkan keputusan mereka.

Untuk menampilkan adegan sidang yang penuh tekanan tersebut, Clint Eastwood menggandeng Todd Komarnicki sebagai penulis skenario. Sutradara American Sniper (2014) itu ingin menyajikan perspektif politik yang berbeda. Baginya, Kapten Sully sudah melakukan pekerjaan dengan baik. Momen heroiknya harus dikenang selamanya.

Saat berusia 21 tahun, Eastwood mengaku juga pernah mengalami pendaratan darurat. Kala itu, dia bertugas sebagai tentara. Demi penerbangan gratis, Clint muda menumpang pesawat angkatan laut dari Seattle ke Alameda.

Sialnya, di tengah penerbangan, badai menerjang. Pesawat yang ditumpangi Eastwood akhirnya mendarat darurat di Samudera Pasifik. Untungnya, posisinya tidak terlalu jauh dari daratan di Point Reyes, California. Dia kemudian berenang beberapa mil ke pantai.

Eastwood mengaku masih mengingat peristiwa dramatis tersebut, sehingga cukup memberinya gambaran dalam menggarap film Sully. Menurutnya, apa yang dilakukan sang pilot sudah tepat. Mendaratkan pesawat di Sungai Hudson yang masih dapat dijangkau helikopter dan kapal ferry. Bukan di tengah lautan seperti yang pernah dia alami.

Di film rilisan Warner Bros. Pictures tersebut, Eastwood memang menggambarkan Sully sebagai orang yang sangat bertanggung jawab dan mengerti pekerjaan. Dia memastikan semua penumpangnya selamat. Sully menjadi orang terakhir yang keluar dari pesawat dan tak lupa mengambil berkas-berkas yang berguna untuk pemeriksaan.

Kapten Sully sendiri saat diwawancarai mengaku tidak pernah merasa sebagai pahlawan. Kejadian yang dia alami, menurutnya, sangat langka. Meski sudah berpengalaman selama 40 tahun sebagai pilot, ketangguhannya kala itu benar-benar diuji.

Awalnya, Sully merasa tidak percaya dan tidak bisa menerima kenyataan. Lalu, dia sadar dan memaksa dirinya untuk tenang. Dengan dibantu oleh kopilotnya, Sully kemudian mengatur rencana pendaratan darurat dan menetapkan prioritas untuk mengatasi masalah genting tersebut. Hanya dalam hitungan detik yang mereka punya.

Di film, Sully dan sang kopilot digambarkan sangat kompak. Hal ini memang sesuai dengan kenyataan. Padahal, mereka baru bertemu untuk pertama kalinya beberapa hari sebelum kejadian tersebut. Pengalaman dan jam terbanglah yang akhirnya membuat mereka saling memahami dan mampu mengatasi krisis dari dalam kokpit dengan waktu yang sangat singkat.

Tom Hanks, selaku pemeran Sully, menyatakan sangat tertarik dengan sosok sang pilot. Ini memang bukan pertama kalinya aktor peraih Piala Oscar lewat film Philadelphia (1993) dan Forrest Gump (1994) tersebut memerankan tokoh heroik. Sebelumnya, pria berusia 60 tahun itu sudah pernah menjadi Captain Philips (2013), seorang nakhoda yang kapalnya dibajak di laut dekat Somalia.

Saat ditawari peran Sully oleh Clint Eastwood, Tom Hanks mengaku tak kuasa menolak. Apalagi, setelah dia membaca naskahnya, yang menurutnya sangat sederhana, sekaligus mendebarkan. Film berdurasi 96 menit ini akhirnya menjadi proyek pertama yang melibatkan dua nama besar dalam dunia perfilman Hollywood tersebut.

Clint Eastwood kemudian secara fisik mengubah penampilan Tom Hanks, dan juga Aaron Eckhart, menjadi sangat mirip dengan tokoh asli yang mereka perankan. Meski demikian, Hanks mengaku sempat merasa terintimidasi saat memerankan Sully, karena aktor kawakan tersebut khawatir tidak mampu mewujudkan kepribadian dan karakter yang sesuai dengan sosok aslinya.

Setelah diputar di Festival Film Telluride pada 2 September 2016, Sully mendapat tanggapan positif dari para pengamat dan situs review. Penampilan Tom Hanks mendapat banyak pujian dan layak dinominasikan sebagai peraih Piala Oscar (lagi). Demikian juga dengan Clint Eastwood. Sully bisa menjadi salah satu film terbaik yang pernah disutradarainya.

Hanya saja, meski banjir pujian, Sully juga tak lepas dari kritik. Terutama, dari pihak NTSB yang tampak "kebakaran jenggot" karena merasa disudutkan. Di film ini, mereka memang seolah-olah ditempatkan di posisi antagonis.

NTSB menganggap film produksi Village Roadshow Pictures ini terlalu mengekspos sidang yang dijalani oleh Kapten Sullenberger pada tahun 2009 dan menjelekkan nama baik para penyelidik mereka. NTSB menyatakan tak pernah menyalahkan Sully. Kala itu, mereka menggelar sidang hanya untuk mengetahui kronologinya.

***

Sully

Sutradara: Clint Eastwood
Produser: Clint Eastwood, Frank Marshall, Tim Moore, Allyn Stewart
Penulis Skenario: Todd Komarnicki
Berdasarkan: Highest Duty by Chesley Sullenberger and Jeffrey Zaslow
Pemain: Tom Hanks, Aaron Eckhart, Laura Linney
Musik: Christian Jacob, The Tierney Sutton Band
Sinematografi: Tom Stern
Editor: Blu Murray
Produksi: Village Roadshow Pictures, RatPac-Dune Entertainment, Flashlight Films, The Kennedy/Marshall Company, Malpaso Productions
Distributor: Warner Bros. Pictures
Budget: USD 60 juta
Durasi: 96 menit
Rilis: 2 September 2016 (Telluride), 9 September 2016 (Amerika Serikat & Indonesia)

Ratings

IMDb: 8,0
Rotten Tomatoes: 81%
Metacritic: 76


September 08, 2016

Preview Film: The BFG (2016)


Disney sangat sukses ketika merilis The Jungle Book. Meski demikian, bukan hanya petualangan Mowgli tersebut proyek live-action yang mereka andalkan tahun ini. Ada beberapa yang lainnya. Salah satunya adalah The BFG, yang diadaptasi dari buku cerita anak-anak berjudul sama karangan Roald Dahl.

Film fantasi yang dibesut oleh sutradara kondang Hollywood, Steven Spielberg, ini merupakan live-action ketiga yang diadaptasi dari karya novelis asal Wales tersebut setelah Matilda (1996) dan Charlie and the Chocolate Factory (2005). Sedangkan, untuk versi animasinya, The BFG sudah pernah ditayangkan di televisi pada tahun 1989.

Produser The BFG, Frank Marshall, dan Kathleen Kennedy, sebenarnya sudah sejak lama berencana membuat live action dongeng ini. Tepatnya, sejak tahun 1991. Kala itu, yang mereka incar sebagai pemeran utama adalah almarhum Robin Williams.

Karena berbagai macam kendala, proyek The BFG ini akhirnya baru terealisasi 20 tahun kemudian. Yaitu, pada tahun 2011, setelah DreamWorks Studios, perusahaan milik Steven Spielberg, membeli hak untuk memfilmkan novel yang diterbitkan oleh Penguin Books tersebut.

Melalui rumah produksinya, Amblin Entertainment, Spielberg kemudian menjalin partnership dengan Disney untuk menggarap The BFG. Hal ini tercatat sebagai kerjasama pertama antara dua nama besar dalam dunia perfilman Hollywood tersebut. Tahun 2016 akhirnya mereka tetapkan sebagai waktu perilisan The BFG, sekaligus untuk memperingati seabad Roald Dahl yang lahir pada 13 September 1916.

Sebagai pemeran utama, pada Oktober 2014, terpilih Mark Rylance, aktor senior yang wajahnya mirip manager Leicester City, Claudio Ranieri. Peraih Piala Oscar 2016 sebagai Pemain Pendukung Terbaik lewat Bridge of Spies (2015) itu beradu akting dengan Ruby Barnhill. Bintang cilik yang baru berusia 11 tahun tersebut terpilih saat casting pada Desember 2014.

Di film berdurasi 117 menit ini, Rylance memerankan seorang raksasa tua baik hati yang dijuluki sebagai The BFG (Big Friendly Giant). Karena terlalu lembut dan tidak suka memangsa anak-anak, dia dikucilkan oleh raksasa-raksasa lainnya. The BFG kemudian malah bersahabat dengan seorang gadis kecil bernama Sophie (Ruby Barnhill). Mereka berdua lalu bahu-membahu menyelamatkan dunia dari ancaman raksasa jahat pemakan manusia.

Bagi Spielberg, The BFG ini menandai kembalinya kreator Jaws (1975) tersebut ke genre fantasi. Akhir-akhir ini, sutradara kelahiran 18 Desember 1946 itu memang hanya menelurkan film-film berlatar belakang sejarah semacam Bridge of Spies (2015) dan Lincoln (2012).

Padahal, dulunya, Spielberg dikenal sebagai pembesut genre fantasi sci-fi semacam Jurassic Park (1993). Menurutnya, film-film sejarah yang dia garap belakangan ini merupakan "refreshing". Kini, saatnya dia kembali ke dunia fantasi yang memang sangat digemarinya.

Menurut Spielberg, dia merasa sangat bebas saat menggarap film-film fantasi. Tidak ada batasan seperti film-film bertema sejarah yang harus berdasarkan fakta. Untuk menulis naskah The BFG, sutradara Schindler's List (1993) itu menggandeng Melissa Mathison yang dulu bersama dia dalam menghasilkan film legendaris E. T. the Extra-Terrestrial (1982).

Spielberg juga menerapkan performance/motion capture untuk menampilkan sosok raksasa setinggi lebih dari tujuh meter dalam film berteknologi tinggi yang dipenuhi oleh efek CGI, alias computer generated inagery ini. Dia sudah berpengalaman menggunakan teknik tersebut saat menggarap The Adventures of Tintin (2011). Disney tampaknya all-out mendukung upaya Spielberg untuk menampilkan dunia fantasi yang ajaib dan adi kodrati.

Hampir semua film produksi DreamWorks Studios milik Spielberg memang menitikberatkan pada tema-tema tentang keajaiban. Menurutnya, hal itu bakal menumbuhkan harapan dan impian yang bisa membuat kehidupan orang-orang menjadi lebih baik.

Saat tayang perdana di Grand Lumiere Theatre, Palais des Festivals, dalam Festival Film Internasional Cannes 2016 pada bulan Mei yang lalu, The BFG mendapat sambutan sangat meriah. Dua menit standing ovation saat para pemain dan kru muncul di karpet merah dan empat setengah menit tepuk tangan membahana setelah film selesai diputar.

Sejumlah kritikus memuji kemampuan Spielberg dalam memvisualisasikan novel The BFG yang sebenarnya cukup dramatis. Bahkan, lelucon-lelucon unik karangan Roald Dahl seperti kentut ajaib dan bahasa raksasa gobblefunk bisa mereka tampilkan dengan baik. Sejumlah situs review pun memberi rating positif untuk The BFG.

Namun, sayangnya, dari segi box office, The BFG ini termasuk jeblok. Sejak dirilis pada 1 Juli 2016, film berbujet USD 140 juta ini "hanya" mampu mengumpulkan pemasukan USD 160 juta. Mungkin, cuma bisa balik modal. Padahal, dengan menggandeng Spielberg, Disney mengharapkan kesuksesan setara The Jungle Book (2016) yang meraup hampir USD 1 miliar.

Para pengamat menyatakan, salah satu penyebab The BFG kurang diminati penonton adalah ketiadaan bintang bernama besar. Mark Rylance memang aktor senior yang hebat. Tapi, dia kurang menjual jika dibandingkan, katakanlah, Bill Murray, Idris Elba, Ben Kingsley, dan Christopher Walken. Begitu juga dengan Rebecca Hall, yang daya tariknya masih kalah dari ScarJo di The Jungle Book.

Tangan dingin Spielberg pun gagal mengerek pendapatan The BFG. Sepertinya, daya magis kreator franchise Indiana Jones itu sudah lenyap dalam memikat penonton. Padahal, dulu, nyaris semua film garapan Spielberg adalah jaminan box office.

Faktor lain yang membuat The BFG kurang laku adalah para pembaca bukunya yang saat ini masih "terlalu muda" untuk memiliki anak yang diajak menonton di bioskop. Novel karya Roald Dahl tersebut memang "baru" terbit pada 1982. Menurut beberapa pengamat, Disney seharusnya menunda perilisannya sepuluh tahun lagi.

***

The BFG

Sutradara: Steven Spielberg
Produser: Steven Spielberg, Frank Marshall, Sam Mercer
Penulis Skenario: Melissa Mathison
Berdasarkan: The BFG by Roald Dahl
Pemain: Mark Rylance, Ruby Barnhill, Penelope Wilton, Jemaine Clement, Rebecca Hall, Rafe Spall, Bill Hader
Musik: John Wlliams
Sinematografi: Janusz Kaminski
Editor: Michael Kahn
Produksi: Walt Disney Pictures, Amblin Entertainment, Reliance Entertainment, Walden Media, The Kennedy/Marshall Company
Distributor: Walt Disney Studios Motion Pictures
Budget: USD 140 juta
Durasi: 117 menit
Rilis: 14 Mei 2016 (Cannes), 1 Juli 2016 (Amerika Serikat), 7 September 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 6,7
Rotten Tomatoes: 75%
Metacritic: 66
CinemaScore: A-



September 03, 2016

Preview Film: Me Before You (2016)


Setelah menunggu selama tiga bulan, Me Before You akhirnya tayang di Indonesia mulai hari Jumat (2/9) ini. Film drama romantis yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Jojo Moyes tersebut memang sudah dirilis di Amerika Serikat sejak awal Juni yang lalu.

Meski dibintangi oleh Emilia Clarke, si Daenerys Targaryen yang biasa menampilkan ketelanjangan di serial terkenal Game of Thrones, Me Before You bakal menyajikan kisah yang bikin baper dan menguras air mata. Jadi, buat para penonton cowok, jangan terlalu ngarep. Di film ini, pemeran Sarah Connor dalam Terminator Genisys (2015) itu tidak akan terlalu banyak mengumbar dada. Hanya sebatas belahan saja.

Berdurasi sekitar 110 menit, Me Before You mengisahkan tentang seorang mantan banker bernama Will Traynor (Sam Claflin), yang mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan motor dua tahun sebelumnya. Berjiwa petualang, masih muda dan ganteng, tapi tak bisa berjalan, jelas membuat Will depresi dan kehilangan semangat hidup. Bahkan, dia berniat untuk melakukan euthanasia alias bunuh diri.

Untungnya, Will kemudian bertemu dengan Louisa Clark (Emilia Clarke), yang melamar kerja sebagai pengasuhnya. Pembawaan Lou yang ceria dan kekanak-kanakan membuat kehidupan Will yang semula suram menjadi lebih cerah. Benih-benih cinta pun mulai tumbuh di antara keduanya. Padahal, Lou sudah punya pacar bernama Patrick (Matthew Lewis). Bagaimana selanjutnya kisah kasih antara Lou dan Will? Apakah mereka akhirnya bisa bersatu dan hidup bahagia?

Dengan alur cerita yang mirip sinetron dan telenovela, cowoknya tajir, tapi lumpuh, sedangkan ceweknya sederhana, tapi setia, Me Before You memang kental sekali unsur dramanya. Kisah romantis seperti ini biasanya membuat para penonton baper dan terbawa suasana. Terutama bagi yang sudah punya pacar. Entahlah kalau bagi para jomblo..

Setelah tayang bulan Juni yang lalu di Amerika, film yang disutradarai oleh Thea Sharrock ini mendapat rating yang lumayan dari beberapa situs review. Para pengamat juga memuji chemistry yang terjalin di antara Emilia Clarke dan Sam Claflin, yang sebelumnya dikenal sebagai Finnick Odair di The Hunger Games.

Secara box office, film rilisan Warner Bros. ini juga bisa dibilang sangat sukses. Dengan modal "hanya" USD 20 juta, Me Before You berhasil meraup pemasukan hingga USD 196 juta. Itu belum ditambah dari negara-negara yang telat menayangkannya, seperti di Indonesia ini.

Meski demikian, tak semua pihak ikut senang dengan pencapaian tersebut. Penayangan Me Before You ini juga mengundang kontroversi dan protes keras. Terutama dari para penyandang kelumpuhan. Mereka menganggap karakter Will Traynor adalah sebuah penghinaan bagi para kaum difabel.

Para aktivis organisasi Not Dead Yet dan National Council on Independent Living menilai Jojo Moyes, penulis novel sekaligus skenario Me Before You, adalah orang yang bepikiran sempit. Dia dianggap menghidupkan kembali stereotipe klise bahwa orang cacat itu merupakan beban, dan patut dikasihani, karena hidupnya sudah tidak berarti.

Menanggapi kontroversi tersebut, sutradara Thea Sharrock menegaskan pihaknya sama sekali tidak bermaksud untuk menanamkan paham tentang euthanasia pada para penderita cacat. Yang ingin dia sampaikan lewat film ini adalah pentingnya hak untuk memilih serta keberanian untuk move on dan mendorong diri sendiri.

***

Me Before You

Sutradara: Thea Sharrock
Produser: Karen Rosenfelt, Alison Owen
Penulis Skenario: Jojo Moyes
Berdasarkan: Me Before You by Jojo Moyes
Pemain: Emilia Clarke, Sam Claflin, Janet McTeer, Charles Dance, Brandon Coyle
Musik: Craig Armstrong
Sinematografi: Remi Adefarasin
Editor: John Wilson
Produksi: New Line Cinema, Metro-Goldwyn-Mayer, Sunswept Entertainment
Distributor: Warner Bros. Pictures
Budget: USD 20 juta
Durasi: 110 menit
Rilis: 23 Mei 2016 (New York City), 3 Juni 2016 (Amerika Serikat), 2 September 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 7,5
Rotten Tomatoes: 59%
Metacritic: 51
CinemaScore: A



Preview Film: Collide (2016)


Selain Mechanic: Resurrection, layar bioskop bulan ini sebenarnya juga dihiasi oleh film action berjudul Collide. Meski sempat ditunda perilisannya, film yang dibesut oleh sutradara Eran Creevy tersebut akhirnya tayang di Indonesia mulai hari Rabu (31/8) yang lalu.

Awalnya, Collide memang direncanakan tayang pada bulan Oktober 2015. Namun, Relativity Media yang bertindak sebagai distributor mengalami kebangkrutan. Mereka kemudian menjual kembali film tersebut ke IM Global, selaku production company. Selanjutnya, pada September 2015, Open Road Films mengambil alih hak distribusinya.

Dengan mengandalkan aktor-aktor yang sudah punya nama, Collide sebenarnya bukan film laga ecek-ecek. Sebut saja Nicholas Hoult. Pemeran Beast dalam franchise X-Men itu beradu akting dengan Felicity Jones, yang akhir tahun ini bakal tampil sebagai Jyn Erso di Rogue One: A Star Wars Story.

Selain dua bintang muda tersebut, dua aktor kawakan dan legendaris, Ben Kingsley dan Anthony Hopkins, juga meramaikan film yang semula berjudul Autobahn ini. Maka dari itu, Collide sebenarnya sayang untuk dilewatkan, terutama bagi para penggemar film laga yang penuh aksi.

Kisahnya tentang mantan bajingan bernama Casey Stein (Nicholas Hoult), yang telah insaf dan meninggalkan dunia gelap. Sayangnya, saat menjalani masa pertobatannya tersebut, Casey harus menerima cobaan. Pacarnya, Juliette (Felicity Jones), didiagnosis mengidap gagal ginjal. Dia harus menjalani transplantasi jika ingin menyambung hidupnya.

Namun, biaya untuk melakukan operasi tersebut terlalu besar. Mereka tidak punya BPJS pula. Just kidding.. Hehe.. Singkat cerita, Casey pun kelimpungan mencari uang demi menyelamatkan kekasihnya. Dia terpaksa menghubungi Geran (Ben Kingsley), mantan boss-nya di dunia hitam, untuk meminta solusi.

Geran kemudian memberinya tugas untuk mencuri barang berharga milik boss mafia bernama Hagen Kahl (Anthony Hopkins). Jika berhasil, dia bakal dapat imbalan besar. Mampukah Casey menuntaskan misinya demi kesembuhan sang pacar? Ataukah dia yang bakal celaka diburu oleh para penjahat kelas kakap?

Sutradara Eran Creevy yang berpengalaman membesut Welcome to the Punch (2013) memang sengaja menghadirkan film action penuh kekerasan yang dibumbui oleh kisah romantis para pemainnya. Collide seolah kembali mengingatkan bahwa yang namanya cinta memang perlu perjuangan dan pengorbanan. Tidak hanya air mata, tetapi juga darah.

Creevy sendiri berupaya keras untuk menampilkan hasil yang terbaik. Merangkap sebagai penulis naskah, sutradara asal Inggris ini beberapa kali menulis ulang skenario dan menambahkan beberapa karakter agar hasilnya sempurna.

Apalagi, kali ini, aktor-aktor yang terlibat merupakan bintang-bintang terkenal. Tidak seperti film dia sebelumnya yang relatif lebih kecil. Oleh karena itu, Collide merupakan tantangan pertama bagi Creevy dalam menghasilkan film action berskala besar.

Sayangnya, sejak dirilis di Amerika Serikat pada 19 Agustus 2016 yang lalu, Collide hanya mendapatkan rating 6,0/10 dari IMDb. Meski demikian, bagi para penggemar adegan bak-bik-buk, kejar-kejaran, dan ledak-ledakan, film ini tetap layak untuk dinikmati.

***

Collide

Sutradara: Eran Creevy
Produser: Joel Silver, Ben Pugh, Brian Kavanaugh-Jones, Rory Aitken, Daniel Hetzer
Penulis Skenario: F. Scott Frazier, Eran Creevy
Pengarang Cerita: F. Scott Frazier
Pemain: Nicholas Hoult, Felicity Jones, Ben Kingsley, Anthony Hopkins
Musik: Ilan Eshkeri
Sinematografi: Ed Wild
Editor: Chris Gill
Produksi: IM Global, Sycamore Entertainment, DMG Entertainment, Silver Pictures, 42, Automatik, Autobahn Film GmbH
Distributor: Open Road Films
Rilis: 28 Juli 2016 (Jerman), 19 Agustus 2016 (Amerika Serikat), 31 Agustus 2016 (Indonesia)

Ratings

IMDb: 6,0