July 31, 2009

Sukses Bukan Hanya Pilihan

Banyak motivator mengatakan bahwa sukses adalah soal pilihan. Mereka bilang, kalau kita ingin berhasil harus memilih untuk menjadi sukses. Banyak orang mengalami kegagalan karena memang memilih untuk gagal. Pendapat para motivator tersebut memang benar. Tetapi, saya tidak sepenuhnya setuju.

Menurut saya, setiap orang pasti memilih untuk berhasil. Apakah ada di antara Anda yang memilih untuk gagal? Saya rasa tidak. Setiap orang normal pasti ingin dan memilih untuk berhasil dalam hidupnya.

Kalau setiap orang memilih untuk berhasil, kenapa masih banyak orang yang gagal? Jawabannya, mereka gagal karena tidak mau memperjuangkannya. Banyak orang memilih untuk hidup sukses, tetapi tidak mau berjuang keras. Berapa banyak yang menyerah sebelum bertanding? Berapa banyak yang tidak mau membayar harga demi sebuah kesuksesan? Ingat, tidak ada yang gratis di dunia ini.

Jadi, sukses bukan hanya soal pilihan, tetapi juga bagaimana memperjuangkan konsekuensi dari pilihan tersebut. Memilih itu mudah, memperjuangkan itu yang sulit. Memilih pekerjaan itu mudah, memperjuangkan supaya bisa mencapai puncak itu yang sulit. Memilih bisnis itu mudah, memperjuangkan supaya bisa menjadi besar itu yang sulit. Memilih pasangan (istri/suami) itu mudah, memperjuangkan supaya bisa langgeng dan harmonis itu yang sulit.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, mungkin hidup memang sulit. Bahkan, ada orang yang bilang jauh lebih sulit daripada menjual kondom kepada biksu. Hehehe.. Meski demikian, saya yakin dan percaya, dibalik setiap kesulitan selalu ada kesempatan. Sesuatu yang sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan karena tidak ada yang tidak bisa di dunia ini. Yang ada hanyalah mau atau tidak. Teruslah berjuang demi cita-cita dan impian yang sudah kita PILIH.

July 28, 2009

Retire Young Retire Rich? I Don’t Want It!

Sudah pernah baca bukunya Robert T. Kiyosaki dengan judul mirip di atas? Ya, Om Robert mengiming-imingi pembacanya supaya mampu menikmati masa ‘pensiun’ selagi masih muda dan kaya. Anehnya, saya tidak sepenuhnya setuju dengan ‘judul’ buku tersebut.

Anda pasti berpikir saya sudah gila, sinting, gelo, gendeng, sableng, dsb. No! Saudara-saudara sebangsa dan setanah air, saya masih normal dan sadar sepenuh-penuhnya. Siapa sih yang nggak ingin pensiun muda dan kaya?

Betul. Anda tidak salah baca. Saya tidak ingin pensiun muda dan kaya. Lebih tepatnya, saya tidak ingin pensiun, tetapi saya ingin kaya (dan kalau bisa tetap muda). Bingung? Saya suka kalau Anda bingung.

Begini maksud saya. Banyak orang yang membaca buku Kiyosaki tersebut hanya setengah-setengah dan nggak sampai habis karena saking tebalnya. Bahkan, ada yang cuma baca judulnya saja. Akhirnya, si pembaca separo jalan ini punya ilusi bahwa pensiun itu enak, bermalas-malasan itu mengasyikan, dsb.

Kenyataannya, Robert Kiyosaki sendiri mengatakan bahwa pensiun itu tidak enak. Ternyata, dia sendiri pun hanya ‘sanggup’ pensiun selama setahun saja! Betul, saudara-saudara. Hanya setahun saja. Setelah terbiasa bertahun-tahun bekerja keras supaya bisa pensiun dini, ternyata dia malah tidak bisa menikmati masa impiannya tersebut berlama-lama. Dia ingin kembali bekerja. Dia tidak bisa pensiun. That’s the truth! Bedanya, waktu miskin dulu, dia tidak bisa pensiun karena HARUS bekerja, sedangkan saat ini (setelah kaya), dia tidak bisa pensiun karena dia memang INGIN bekerja.

Fakta tersebut ‘terpaksa’ saya ungkapkan karena itulah kebenarannya. Yang perlu Anda ketahui juga, saya tidak bermaksud membunuh impian Anda untuk pensiun dini. Saya hanya ingin memutilasinya. Yup! Mulai saat ini buang jauh-jauh keinginan untuk pensiun dan bermalas-malasan. Keinginan itu hanya membuat kita terbuai dalam zona nyaman. Pernahkah Anda lihat ada orang kaya yang bermalas-malasan? Saya belum pernah. Saya lihat setiap orang kaya tetap rajin bekerja sampai mereka mati pada akhirnya. Inilah yang membuat orang miskin bertanya-tanya: “Udah kaya kok masih ‘ngoyo’ sih? Dasar workaholic!” Pertanyaan itulah yang membuat si miskin tetap miskin selamanya.

Jadi, tetaplah bekerja, nikmati pekerjaan, dan pilih pekerjaan yang kita cintai, apa pun itu. Pensiun? Biarlah itu hanya menjadi angan-angan saja. Toh, pada akhirnya nanti, kita akan menikmati masa pensiun yang sangat panjang di liang lahat. Hehehe..

Retire young and retire rich? I don’t want it. I love to work and I love my business because it’s my hobby. I love it full.

Mulailah dengan Doa…

Sudahkah Anda memulai hari ini dengan doa? Apa yang Anda doakan hari ini? Hari yang baik? Pekerjaan yang lancar? Penjualan yang meningkat? Tubuh yang sehat? Atau Anda belum berdoa hari ini? Apa arti doa bagi Anda? Di prioritas ke berapa Anda menempatkan sebuah doa? Apa pun jawabannya, itu adalah hak pribadi Anda masing-masing.

Bagi saya, doa adalah pilihan pertama. Mayoritas orang menempatkan doa sebagai pilihan terakhir. Biasanya, kalau sudah menyerah, baru ingat untuk berdoa.

Seberapa banyak di antara Anda yang pernah mengatakan seperti ini ketika menghadapi suatu tantangan: “Kita akan berusaha semaksimal mungkin, setelah berbagai upaya gagal dilakukan, langkah terakhir kita adalah berdoa.”

Seberapa sering Anda mengatakan seperti ini: “Mari kita berdoa dulu supaya Tuhan memberikan jalan yang terbaik bagi kita semua untuk menghadapi cobaan ini. Setelah berdoa, kita akan berupaya semaksimal mungkin. Semoga Tuhan memberkati.”

Saya yakin, setiap tindakan yang diawali dengan doa akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi kita semua. Berdoa tidak harus menunggu derita. Berapa banyak orang yang berdoa saat mereka susah dan lupa berdoa ketika gembira?

Berdoa bisa dilakukan dengan sederhana di dalam hati kita masing-masing. Berdoa tidak harus bersimpuh dan mencari tempat ibadah. Berdoa bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dan sambil melakukan apa saja. Sekarang pun saya sedang berdoa sambil menulis catatan ini. Saya berdoa agar apa yang saya tulis bisa berguna bagi siapa saja yang membacanya.

Adalah hal yang sia-sia bila kita seharian berada di tempat ibadah, tetapi pikiran, perasaan dan jiwa kita berada di tempat lain. Lebih baik kita berada di tempat pelacuran tetapi pikiran, perasaan dan jiwa kita selalu ingat akan Tuhan. Bunga teratai bisa tumbuh dan mekar dengan indahnya justru di tempat yang kotor dan berlumpur. Bintang bersinar terang bukan di langit yang biru, tetapi di langit yang gelap dan hitam.

Bila kita selalu ingat akan Tuhan, saya percaya Dia juga akan berkomunikasi dengan kita, tentu saja lewat caraNya sendiri. Semakin sering kita ingat kepadaNya, semakin peka kita terhadap tanda-tanda yang diberikanNya. Tuhan seringkali memberi jawaban atas doa dan pertanyaan kita lewat siapa saja dan apa saja yang tidak kita duga sebelumnya.

Tuhan juga selalu memberi yang kita butuhkan, meskipun yang kita butuhkan belum tentu yang kita inginkan, karena saya yakin hanya Tuhan-lah yang tahu apa yang paling pantas buat kita.

Yang pasti, dalam menjawab doa kita, Tuhan tidak pernah terlambat, Tuhan juga tidak pernah tergesa-gesa. Tuhan tepat waktu.

Cita-cita Setinggi Langit-langit…

Waktu masih duduk di bangku taman kanak-kanak dulu, kami sering ditanya oleh ibu guru, “Anak-anak, apa cita-citamu?”
“Pengen jadi astronot, Bu!” jawab saya dengan lugunya.
“Pengen jadi presiden kayak Pak Harto!” sahut teman saya.
“Jadi dokter seperti Mama!” lanjut teman saya, anak dari seorang dokter.
“Jadi petinju hebat seperti Rocky!”
“Jadi penyanyi terkenal seperti Michael Jackson!”
“Jadi Rambo!”
“Jadi James Bond!”
“Pengen jadi pilot!”
“Pengen bikin kapal terbang!”
“Jadi pembalap!”
Dan sederet cita-cita lainnya yang menurut orang dewasa cenderung tidak realistis.

Anak kecil tetaplah anak kecil yang polos dan jujur. Apa yang ada di hatinya akan terucap begitu saja. Cita-cita mereka seringkali setinggi langit dan mereka sangat optimis bisa menggapainya. Tidak ada sedikit pun keragu-raguan dalam benak seorang anak kecil. Tidak ada ketakutan. Konsep gagal tidak ada dalam pikiran mereka, yang ada adalah konsep berhasil. Tidak ada kesedihan, yang ada hanyalah kegembiraan.

Setelah menginjak dewasa, semuanya seakan berubah. Pengaruh lingkungan dan sistem pendidikan, yang masih mengkerdilkan peran imajinasi dan daya khayal, membentuk kita yang dulunya optimis menjadi pesimis, mengubah kita yang dulunya berani menjadi penakut dan membuat kita yang dulunya jujur menjadi penuh kepura-puraan dan kemunafikan.

Banyak orang picik yang mengatakan, “Jangan terlalu tinggi kalau bercita-cita karena bila gagal jatuhnya sakit!”

Orang-orang yang berpikiran sempit seperti itu telah membonsai kapasitas mental dirinya sehingga mereka semua hanya mempunyai cita-cita setinggi langit-langit.

Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang besar bila masih mengikuti ajaran orang-orang yang bermental ‘kurcaci’ seperti itu. Bangsa kita butuh orang-orang yang bermental ‘raksasa’ seperti Gajah Mada. Bangsa kita tidak butuh Goliath-Goliath yang berhati kura-kura. Bangsa kita tidak akan menjadi jaya bila hanya dipenuhi oleh orang-orang yang berbadan gede tapi bermental seuprit.

Napoleon Bonaparte adalah wong cilik yang berhati singa. Dengan ukuran fisik yang mini, dia berhasil membuat takluk seluruh Eropa. Lionel Messi adalah seorang ‘hobbit’ yang bermental juara. Dengan tubuhnya yang kurus dan pendek, dia berhasil mengobrak-abrik para raksasa sepak bola. If you are small, don’t be afraid. Jangan takut kalau ‘ukuran’ Anda kecil, tetapi, takutlah kalau mental Anda yang ‘seupil’.

Pemimpin Besar Revolusi, Bung Karno, pernah berkata: “Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Karena walau pun gagal, engkau masih akan terjatuh di antara bintang-bintang!”

Marilah kita kembali menjadi bintang kecil dengan cita-cita setinggi langit. Marilah kita kembali menjadi ‘anak-anak’ yang bertubuh mungil tetapi bermental juara.

(Catatan dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional, 23 Juli 2009)

Empat Tipe Manusia

Dalam menjalani hidupnya, kita bisa membagi manusia menjadi empat tipe.

Tipe pertama adalah: TERORIS.
Manusia yang termasuk jenis ini adalah orang-orang yang dalam hidupnya tidak henti-hentinya menebar ketakutan bagi orang lain. Hampir sebagian besar kata-kata dan tindakannya bermuatan negatif. Pekerjaannya selalu mengganggu orang lain dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Yang lebih berbahaya adalah teroris gaya baru yang seringkali menyamarkan wajahnya untuk mengelabui orang lain. Teror-teror yang dilakukan terselubung dan tersembunyi sehingga banyak korban yang tidak menyadarinya. Bahkan, banyak orang yang mengganggap teroris ini sebagai pahlawan. Perangainya yang halus, lembut, sopan, rupawan dan seringkali sangat pintar, banyak menarik simpati orang-orang untuk menjadi pengikutnya.

Tipe kedua adalah: SANDERA.
Manusia yang termasuk jenis ini adalah orang-orang yang tersandera oleh kaum teroris. Mereka terpaksa mengikuti kemauan sang teroris. Mereka tidak berani melawan, meskipun sebenarnya mereka bisa. Mereka terlalu takut untuk mengambil risiko sehingga seumur hidupnya terbelenggu dan tidak bebas. Manusia yang paling menderita adalah manusia yang termasuk dalam tipe ini.

Tipe ketiga adalah: TURIS.
Manusia yang termasuk jenis ini adalah orang-orang yang ‘bebas’ tetapi tidak mempunyai tujuan. Yang mereka lakukan hanyalah bersenang-senang, jalan-jalan dan cenderung mengikuti arus. Para turis ini adalah orang-orang yang hidup hanya untuk hari ini. Bagi mereka hari esok masih belum pasti jadi tidak perlu dipusingkan. Manusia jenis ini adalah manusia yang ‘terlihat’ sangat menikmati hidupnya. Satu-satunya kesulitan adalah ketika mereka sadar bahwa ‘uang saku’ sudah habis sehingga no more vacation, dan biasanya hal itu terlambat mereka sadari.

Tipe keempat adalah: PEKERJA.
Manusia yang termasuk jenis ini adalah orang-orang yang bekerja dengan keras sehingga tidak sedikit orang yang malah mencela mereka karena ‘kekerasan’ tekadnya dalam menjalani hidup. Mereka selalu positif, meski terkadang sikapnya dianggap terlalu arogan oleh sebagian orang. Seringkali mereka dicap sebagai ‘penjual mimpi’ karena terlalu banyak menebar optimisme. Sikap mereka yang cenderung keras kepala untuk membela kebenaran juga sering membuat orang yang tidak sepaham dengan mereka menjadi marah. Manusia tipe pekerja ini adalah musuh utama dari para teroris. Oleh karena itu, para teroris selalu berusaha merusak dan menyerang mereka, baik secara langsung mau pun secara terselubung.

July 19, 2009

State of Fear

State of Fear adalah sebuah judul novel fiksi-ilmiah karya penulis terkenal Michael Crichton. Novel tersebut mengisahkan tentang state of fear yang dihubungkan dengan isu pemanasan global (sumber: Jawa Pos, Edisi: 19 Juli 2009, Resensi Buku ‘State of Fear’ oleh Audifax). Tetapi, kali ini saya tidak akan membahas tentang global warming (pemanasan global) karena Anda bisa membaca sendiri dengan lebih jelas dan gamblang di buku Michael Crichton tersebut, yang katanya sangat memperkosa logika, seperti halnya The DaVinci Code-nya Dan Brown yang sangat memperkosa iman.

Saya mencoba untuk mengaitkan state of fear (artinya: kondisi ketakutan, atau bisa juga diartikan: negara yang diliputi ketakutan) dengan kejadian nyata (non-fiksi) yang baru saja terjadi dan menghebohkan Indonesia, yaitu teror bom Jakarta di The JW Marriott Hotel dan The Ritz Carlton Hotel beberapa hari yang lalu.

Dalam era yang serba maju dan terbuka seperti sekarang ini, manusia hanya bisa diatur dan disatukan ketika ada suatu ancaman yang membuat mereka merasa ketakutan. Ancaman itu harus merupakan musuh bersama dan ditakuti bersama. Di era Orde Baru dulu, ancaman yang digunakan adalah ‘komunisme’ yang dimanipulasi sedemikian rupa sehingga membuat orang takut dan dengan demikian menjadi lebih mudah diatur.

Setelah runtuhnya komunisme pada akhir tahun 80’an (yang ditandai dengan bubarnya Uni Soviet), lalu sepuluh tahun kemudian disusul dengan lengsernya Orde Baru oleh kekuatan reformasi, ancaman komunisme seakan mati dengan sendirinya. Saat ini komunisme bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian besar masyarakat.

Dengan berakhirnya era komunisme dan bersamaan dengan dimulainya era informasi (internet), dunia (baca: Amerika) menjadi khawatir karena manusia menjadi bebas dari rasa takut dan menjadi lebih berani sehingga tidak mudah untuk dikuasai lagi. Maka dari itu, ancaman baru perlu dicari. Dan laksana gayung bersambut, tanggal 11 September 2001, WTC runtuh karena teror. Disusul kemudian pada tanggal 12 Oktober 2002, Bali meledak juga oleh teror bom. Mulai saat itulah, secara resmi, dunia (baca: Amerika) menemukan ‘mainan’ baru: TERORISME.

Bobolnya WTC sendiri, menurut sebagian pengamat, memang disengaja (dibiarkan bobol). Sesuai dengan yang digambarkan di film semi-dokumenter Fahrenheit 9/11, para pengamat kritis tersebut menyatakan bahwa kecil kemungkinannya sistem keamanan Amerika yang begitu canggih itu bisa kebobolan, sehingga pesawat-pesawat ukuran jumbo tersebut bisa dengan leluasa menabrak menara kembar WTC layaknya bermain video game. (Anti-tesis dari teori ini, yang mengatakan bahwa ‘kecolongan’ itu memang alami dan tidak disengaja, bisa dilihat di film United 93, yang mengisahkan tentang perlawanan para penumpang di dalam salah satu pesawat yang dibajak).

Teori ‘kesengajaan’ tersebut selaras dengan teori ‘state of fear’ di atas. Sebelum peristiwa 9/11, Amerika kebingungan mencari ‘sparring partner’ alias lawan latih tanding. Sejak era perang Vietnam, lalu perang dingin dengan Uni Soviet dan dilanjutkan perang Iraq, rakyat Amerika sepertinya sudah bosan dan ‘eneg’ berperang. Tetapi, peristiwa 9/11 tersebut seakan langsung membangkitkan lagi nasionalisme bangsa Amerika dan sekaligus memberikan legitimasi kepada pemerintahan George W. Bush waktu itu untuk kembali memuaskan libidonya untuk berperang. Dan lawan yang dipilih bukan lagi sebuah negara, tetapi sekelompok orang yang mereka sebut sebagai teroris (dalam hal ini adalah Jaringan Al-Qaeda dengan pemimpinnya yang sangat karismatik, yaitu The Billionaire of Arabia, Osama bin Laden).

Dengan terpilihnya ‘musuh’ baru ini, masyarakat dunia dikondisikan sedemikian rupa agar meyakini bahwa terorisme adalah ancaman terbesar bagi umat manusia saat ini. Dengan ketakutan yang ada, maka orang-orang bisa lebih diatur dan diarahkan agar lebih menurut kepada sang pengatur atau sang penguasa (baca: Amerika).

Nah, state of fear inilah yang menurut banyak pengamat juga dimainkan dengan baik oleh Presiden SBY. Tidak terlalu lama setelah bom di JW Marriott-Ritz Carlton meledak, (sumber: Jawa Pos, Edisi: 18 Juli 2009) SBY dengan sangat pandai memanfaatkan peristiwa tersebut untuk sekalian ‘mengebom’ pihak-pihak yang berpotensi mempersoalkan hasil pilpres yang dikatakan punya rencana menduduki secara paksa gedung KPU. Dia juga membeberkan rencana adanya gerakan revolusi, membuat Indonesia seperti Iran, dan gerakan agar SBY tidak bisa dilantik sebagai presiden.

Hal tersebut diungkapkan SBY dalam jumpa pers di Kantor Presiden di hari yang sama setelah teror bom terjadi, tanggal 17 Juli 2009. Bahkan, SBY juga mengungkapkan kenyataan masih belum dihukumnya orang yang dulu membunuh dan menghilangkan orang. Memang, dia tidak menuduh secara langsung teror kemarin dilakukan oleh pribadi tertentu. Tetapi, pernyataan SBY tersebut sudah pasti sangat membuat ‘takut’ dan menciutkan ‘nyali’ orang-orang yang mungkin mempunyai rencana untuk mempersoalkan keabsahan hasil pilpres yang lalu.

SBY juga mengatakan bahwa pengeboman tersebut dilakukan oleh sekelompok teroris. Tetapi, itu belum tentu dilakukan oleh jaringan yang selama ini dikenal sebagai pelaku bom sebelumnya. Bahkan, dia membuka informasi intelijen tentang adanya latihan menembak dengan sasaran foto dirinya serta upaya berbuat rusuh pascapilpres.

Serangkaian pernyataan SBY tersebut, selain bertujuan menggertak lawan-lawannya supaya tidak unjuk gigi pascapilpres, juga sebagai counter-attack alias serangan balik atas tuduhan kecurangan di pilpres yang banyak dilontarkan para kompetitor kepadanya. Dan saya rasa, apa yang dilakukan oleh SBY kemarin cukup berhasil.

Saat ini sudah mulai terbentuk opini di masyarakat luas bahwa teror bom ini dilakukan oleh lawan-lawan yang tidak puas karena kalah dalam pilpres. Dengan munculnya prasangka buruk di masyarakat seperti saat ini, saya yakin, para pesaing SBY akan berpikir dua kali bila mereka akan mencoba untuk memprotes hasil pilpres. Jangankan membuat keributan, demonstrasi damai pun bisa dianggap melakukan teror oleh masyarakat karena ‘state of fear’ sudah tercipta di dalam pikiran sebagian besar orang saat ini, mungkin juga termasuk Anda yang sedang membaca catatan ini.

Menurut informasi yang saya dapatkan dari Budiman Sudjatmiko (anggota DPR-RI Terpilih untuk periode 2009-2014 dari PDIP) melalui Facebook, kasus serupa sudah pernah terjadi di Spanyol saat Madrid dibom pada tahun 2004. Saat itu, Perdana Menteri Spanyol yang sedang berkuasa, Jose Maria Aznar dari PP (partai sayap kanan), menuduh kelompok oposisi ETA dari Basque yang mendalangi aksi itu. Dengan dalih tersebut, Aznar mengharapkan rakyat akan melegitimasi tindakannya yang akan membungkam suara-suara kritis dari wilayah Basque karena rakyat akan menganggap kelompok kritis tersebut sebagai teroris.

Tetapi, kenyataanlah yang berbicara kemudian. Tuduhan itu ternyata tidak berdasar sama sekali karena proses penyelidikan mengindikasikan hasil yang berbeda. Tidak lama setelah itu, Jose Maria Aznar jatuh dari kekuasaan yang salah satunya disebabkan oleh kesalahannya dalam mengambil kebijakan politik luar negeri dalam rangka pengiriman pasukan ke Iraq karena ikut-ikutan Amerika. Partai oposisi, yaitu PSOE (Partai Buruh Sosialis Spanyol), menyatakan bahwa bom Madrid tersebut adalah reaksi kelompok teroris atas pengiriman pasukan Spanyol ke Iraq. Oleh karena itu, rakyat Spanyol tidak setuju Aznar ikut campur tangan dalam perang Iraq dan akhirnya jatuhlah sang perdana menteri.

Sebagai catatan tambahan untuk ‘check and balance’ supaya Anda semua mendapat informasi yang akurat dan seimbang, hasil penyelidikan Polri sampai saat ini (sumber: Jawa Pos, Edisi: 19 Juli 2009) mengindikasikan bahwa hampir dipastikan pengeboman bermodus bunuh diri tersebut terkait dengan jaringan Noordin M. Top yang berkewarganegaraan Malaysia dan Slamet Kastari yang berkebangsaan Singapura. Mereka berdua adalah pimpinan kelompok teroris, yang telah melakukan serangkaian aksi pemboman di tanah air dalam satu dekade terakhir, yang masih tersisa.

Keempat rekan mereka sudah binasa sebelumnya, yaitu Dr. Azahari bin Husein yang tewas tertembus timah panas anggota tim Densus-88 Anti-Teror Polri dalam penggerebekan di Batu tahun 2005, serta sisanya adalah trio bomber (Imam Samudra, Muchlas, dan Amrozi) yang sudah dieksekusi mati tahun lalu. Jadi, teori bahwa kasus ini adalah kasus politis untuk sementara runtuh. Ini adalah murni kasus ideologis.

Sampai saat ini, saya pribadi sepakat dengan hasil penyelidikan sementara. Karena kalau ini kasus politis, kecil kemungkinan pelakunya bersedia melakukan bom bunuh diri. Aksi hara-kiri (bunuh diri a la Jepang) dan kamikaze (pasukan berani mati a la Jepang pada era Perang Dunia Kedua) biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang ultranasionalis yang sangat fanatik dengan ideologinya atau yang memiliki fanatisme berlebihan terhadap keyakinan atau agama tertentu.

Sedangkan, kenyataan di Indonesia sangat bertolak belakang dengan hal itu. Dinamika politik sekarang ini sudah sangat pragmatis sekali. Saya tidak setuju dengan pernyataan beberapa pengamat yang mengatakan bahwa kekecewaan yang besar karena kalah dalam pilpres bisa berubah menjadi ideologi. Dan maaf saja, saya juga tidak percaya kalau saat ini ada orang Indonesia yang rela mati demi membela idealisme politik semata (soal kalah-menang di pilpres).

Saya yakin para capres-cawapres (Mega-Prabowo dan JK-Wiranto) termasuk para pendukungnya yang berlaga dalam pilpres kemarin sudah siap kalah karena mereka sudah mengetahui tingkat elektabilitasnya rendah melalui hasil survey. Entah kalau yang kalah SBY-Boediono, apakah mereka bisa menerima? Karena hasil surveynya kan sangat tinggi sekali.

Jadi, jika di jaman Orde Baru dulu, orang-orang yang kontra dengan pemerintah langsung dicap komunis, sedangkan saat ini bisa-bisa yang kontra langsung dicap teroris. Sebuah program anti-virus yang sama dengan versi yang lebih ‘up to date’ untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman.

Itulah yang menjadi ‘ketakutan’ saya. Tetapi, saya harap hal itu tidak menjadi kenyataan karena saya percaya bahwa SBY, yang kata banyak orang adalah seorang negarawan, tidak akan menggunakan cara-cara pengecut a la Orde Baru tersebut.

Saya berkesimpulan, sudah menjadi kodrat bahwa kebebasan dan kemerdekaan yang kita cita-citakan akan selalu dihantui oleh ketakutan, baik yang sudah diatur (by design) atau pun yang terjadi secara alami (by default). Meski demikian, saya pribadi tidak akan menyerah kepada ketakutan dan akan selalu memperjuangkan kebebasan yang sudah saya pilih.

Akhir kata, terlepas dari segala macam pro dan kontra, saya yakin kita semua sepakat bahwa dunia harus dibebaskan dari rasa takut (free of fear) dan terorisme harus dienyahkan. Apa pun alasannya. Apa pun bentuknya. Karena takdir kita bukan untuk bertahan hidup, tetapi untuk memenangkan kehidupan ini. Bersama-sama dan bersatu-padu. Jangan pernah berhenti berjuang. Pertempuran baru saja dimulai.

“Dunia kita berada dalam genggaman tangan mereka yang punya keberanian untuk bermimpi dan berlari tanpa takut akan resiko hidup.”
-Paulo Coelho (Novelist America Latin)-

Make Things Happen

Menurut Louis Gerstner, mantan CEO IBM, ada empat jenis manusia.

Yang pertama adalah those to whom things happen. Manusia yang termasuk jenis ini adalah orang-orang yang hanya bisa menerima kejadian tanpa kepedulian khusus. Menurut saya, mereka adalah golongan pemain yang hanya bisa menyerah pada keadaan dan kalah sebelum bertanding.

Yang kedua adalah those who watch things happen. Manusia yang termasuk jenis ini adalah orang-orang yang hanya bisa melihat dan mengamati suatu kejadian tanpa mampu berbuat apa-apa yang produktif. Dalam pandangan saya, mereka adalah golongan penonton yang hanya bisa bersorak ketika terjadi ‘goal’ dan menghujat pemain yang kalah dalam suatu pertandingan.

Yang ketiga adalah those who don’t even know things are happening. Manusia yang termasuk jenis ini adalah orang-orang yang benar-benar tidak menyadari kejadian di sekelilingnya, bahkan cenderung tidak peduli. Menurut hemat saya, mereka adalah golongan penonton yang tidak tahu sedang ada pertandingan, dan kalau pun tahu, mereka cenderung apatis, tanpa pendirian dan biasanya hanya ikut-ikutan mendukung yang menang saja.

Yang keempat adalah those who make things happen. Manusia yang termasuk jenis ini adalah orang-orang yang kritis, mempunyai tujuan dan kemampuan untuk mewujudkannya, di mana sebelumnya orang lain tidak mampu bahkan untuk memikirkannya sekali pun. Bagi saya, mereka adalah golongan pemain yang benar-benar terjun dan berjuang di lapangan dengan tujuan untuk memenangkan pertandingan, tentu saja dengan cara-cara yang sportif dan menjunjung tinggi fair play.

Pertanyaan saya, ingin menjadi manusia jenis yang manakah Anda semua?

July 14, 2009

Anda Ingin Sukses? Menconteklah!

Ada sebuah penelitian menarik yang menyebutkan bahwa anak-anak yang ‘bodoh’ dan nakal saat sekolah ternyata banyak yang berhasil (sukses dan kaya) dalam hidupnya, bahkan lebih sukses daripada anak-anak yang pintar. Tentu saja ini menjadi suatu kontradiksi karena waktu sekolah dulu, anak-anak bandel ini (saya tidak termasuk :p) sering dimarahi dan dikatakan bermasa depan suram oleh gurunya.

Salah satu ciri anak bandel yang sering saya amati adalah kebiasaannya mencontek anak yang pintar saat ujian. Saya tahu betul kebiasaan ini karena dulu termasuk anak ‘pintar’ (bukan sombong :p) yang sering memberikan ‘contekan’ kepada teman-teman yang tergolong ‘ndableg’ ini.

Anak-anak pintar biasanya sangat mengharamkan ‘contekan’ dan selalu menurut pada aturan guru. Sedangkan anak-anak ‘madesu’ sangat bertolak belakang. Motto mereka: ‘tiada hari tanpa mencontek’ dan ‘peraturan dibuat untuk dilanggar’. Saya berpikir mungkin kebiasaan berkelahi, mencontek dan melanggar aturan inilah yang membuat mereka bisa sukses seperti sekarang, jauh lebih sukses daripada saya.

Meski pun demikian, bukan berarti mencontek saat sekolah itu baik. Bagaimana pun juga hal itu adalah sebuah kecurangan. Yang ingin saya tekankan di sini adalah soal mencontek dalam arti yang positif, yaitu meniru dari yang terbaik. Anak-anak pintar biasanya merasa gengsi dan malu kalau harus meniru, tidak demikian halnya dengan anak-anak bandel.

Dalam kehidupan nyata, bila ingin sukses, salah satu cara yang harus kita lakukan adalah mencontek atau meniru hal-hal positif dari orang yang kita anggap sudah sukses. Jangan malu untuk meniru pemikiran-pemikiran mereka, tindakan-tindakan mereka, kebiasaan-kebiasaan mereka, sikap-sikap positif yang mereka miliki, dsb.

Banyak sekali orang-orang sukses yang membuka dirinya untuk dicontek atau diteladani. Bahkan, kerap kali mereka memberikan ‘contekan’ kepada kita secara gratis karena mungkin mereka ingat masa kecilnya dulu yang suka mencontek. Hehehe..

Jadi, tunggu apa lagi? Anda ingin sukses? Menconteklah!

PS:
Mencontek di sini bukan berarti membajak hak cipta milik orang lain. Copy-paste itu dilarang keras, kecuali kalau Anda mengcopy-paste catatan ini karena belum saya patenkan. Hehehe.. Intinya, jangan sampai mencuri milik orang lain. Kalau Anda mau ‘pinjam’, minta ijinlah terlebih dahulu.

July 13, 2009

Bersenang-senanglah sambil bekerja…

Mungkin sebagian orang menganggap aneh, kok bisa bersenang-senang sambil bekerja? Hal ini cukup wajar karena sebagian besar orang merasa bahwa bekerja itu tidak menyenangkan.

Bagi Anda yang saat ini bekerja (terutama para pegawai atau karyawan), seberapa banyak dari Anda yang menunggu-nunggu weekend tiba? Seberapa banyak dari Anda yang membenci hari senin? Itu adalah tanda-tanda bahwa Anda tidak menikmati pekerjaan Anda.

Ada pepatah mengatakan: kalau ingin sukses, kita harus mencintai pekerjaan kita dan mengerjakan yang kita cintai. Jadi, ada dua pilihan yang bisa Anda ambil. Yang pertama, MEMAKSA diri untuk mencintai pekerjaan Anda saat ini, apa pun pekerjaannya. Yang kedua, BERHENTI dari pekerjaan saat ini dan mencari pekerjaan lain yang Anda sukai. Apa pun pilihan Anda, saya menghormatinya.

Sebagian besar orang akan mengambil pilihan pertama karena terlihat mudah (tetapi sulit dalam prakteknya). Banyak orang yang bertahun-tahun memaksa dirinya mengerjakan sesuatu yang tidak disukai, dan hasilnya: rasa cinta itu tidak kunjung datang. Yang ada hanyalah rasa tertekan dan penyesalan karena sudah salah dalam memilih pekerjaan.

Hal inilah yang membuat mayoritas orang tidak bisa bersenang-senang dalam bekerja. Bagaimana bisa bergembira kalau mereka selalu merasa tertekan dan terpaksa dalam bekerja? Apakah Anda bisa bersenang-senang dengan sesuatu yang tidak Anda sukai?

Meskipun demikian, bukan berarti pilihan pertama ini jelek. Ada orang yang ternyata bisa berhasil dan menikmati pekerjaannya saat ini, padahal dulu mereka tidak menyukainya. Tetapi, jumlah orang-orang yang seperti ini sangat kecil sekali.

Satu saran dari saya bagi Anda yang mengambil pilihan pertama: cintai pekerjaan Anda karena tidak semua orang bisa menikmati pekerjaan saat ini. Masih banyak orang yang menganggur dan mencari pekerjaan. Anda masih cukup beruntung mendapat pekerjaan, meski tidak Anda sukai.

Sedangkan pilihan yang kedua relatif tidak banyak dipilih karena terlihat susah (tetapi sebenarnya mudah dalam prakteknya). Banyak orang yang takut berhenti dari pekerjaan mereka saat ini, padahal mereka sangat tidak menyukainya. Alasannya macam-macam: belum waktunya, gajinya besar, malas cari pekerjaan lain, gengsi, malu, posisinya sudah terlanjur tinggi, sungkan sama bosnya, dilarang sama istri/suami/pacarnya, dilarang sama orang tuanya, dsb.

Bagi saya, berhenti adalah sebuah pilihan yang sangat mudah. Apa susahnya? Hanya pikiran kita sendiri yang membuat hal itu menjadi sulit. Hanya ketakutan kita sendiri yang membuatnya tertunda-tunda. Ingat, ini adalah hidup Anda, dan yang berhak menentukan hanya diri Anda sendiri dan Tuhan. Saya ingin mengajak Anda semua menjadi orang yang TEGAS. Keragu-keraguan hanya akan merugikan diri Anda sendiri dan keluarga (bila sudah berkeluarga) pada akhirnya. Sekali lagi, semuanya hanya soal PILIHAN.

Dulu ada seorang pemuda Jepang yang bekerja di General Motors (GM), perusahaan mobil terbesar di Amerika (sekarang sedang mengalami kebangkrutan akibat krisis finansial global). Dia bekerja di GM cabang Jepang dan memperoleh kedudukan serta gaji yang ‘lumayan’ waktu itu.

Meskipun ‘hidup enak’, ternyata dia tidak menikmati karena dia sebenarnya ingin bekerja dan memajukan perusahaan milik bangsanya sendiri. Akhirnya, dia (dan seorang temannya) memutuskan untuk BERHENTI dari GM dan pindah ke perusahaan mobil lokal yang disukainya.

Banyak rekan-rekannya di GM yang menertawakan karena perusahaan lokal yang dia masuki adalah perusahaan kecil yang baru dirintis. Tetapi, dengan semangat pantang menyerah dan rasa cintanya pada perusahaan barunya, membuat dia terus bekerja keras dan menikmati pekerjaan sehingga akhirnya dia berhasil menduduki posisi presiden direktur.

Di bawah kepemimpinannya, perusahaan lokal ini berubah menjadi perusahaan global kelas dunia. Pemuda itu bernama Seisi Kato dan perusahaannya adalah Toyota Motor Corporation (TMC), yang saat ini menjadi perusahaan mobil terbesar di dunia.

Jadi, bersenang-senang sambil bekerja bukanlah hal yang mustahil bila kita memang mau memilihnya. Tidak ada yang tidak bisa. Yang ada hanyalah mau atau tidak. Mau mencintai atau tidak? Mau berhenti dan mencari pekerjaan lain yang kita cintai atau tidak?

Bagi Anda yang saat ini sangat mencintai pekerjaan Anda dan mengerjakan yang Anda cintai, saya yakin kesuksesan akan selalu bersama Anda. Selamat bersenang-senang sambil bekerja!

Hukum 80:20 a la Vilfredo Pareto

Pemerataan kekayaan adalah topik yang tidak ada habisnya untuk dibicarakan dan selalu menimbulkan pro dan kontra. Hal inilah yang akhirnya mendorong seorang ekonom Italia pada awal abad yang lalu, tepatnya tahun 1906, mencetuskan sebuah hukum yang saat ini kita kenal sebagai Hukum Pareto, sesuai dengan nama pencetusnya, Vilfredo Pareto.

Dalam hukum tersebut, Pareto mengatakan bahwa 80% kekayaan yang ada hanya dikuasai oleh 20% orang di negaranya. Sedangkan 20% sisanya dikuasai oleh 80% orang lainnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Italia, tetapi hampir di seluruh dunia. Bahkan, kerap kali ditemui perbedaan yang lebih ‘njomplang’ lagi daripada angka 80:20 tersebut.

Kali ini, saya tidak akan mempermasalahkan tentang perbedaan atau pemerataan tersebut. Yang ingin saya tanyakan, Anda ingin berada di bagian yang mana? Bagian minoritas yang menguasai 80% kekayaan atau bagian mayoritas yang hanya menguasai 20% sisanya? Sebuah pertanyaan bodoh karena saya yakin Anda semua ingin menjadi bagian minoritas tersebut, bukan?

Nah, di sinilah menariknya. Banyak orang yang ingin menjadi bagian minoritas, tetapi apa yang dilakukan tidak sama seperti orang-orang yang sudah berada di bagian itu. Apakah yang Anda lakukan masih sama dengan bagian 80% yang mayoritas atau sudah berbeda? Bila Anda ingin masuk dalam lingkaran ‘elite’ 20%, maka Anda harus berpikir dan bertindak seperti mereka juga.

Bagaimana cara berpikir dan bertindak seperti orang-orang yang tergabung dalam ‘liga super’ tersebut? Kalau Anda masih belum tahu, maka menjadi PR Anda untuk mencari tahunya. Saya tidak akan memberi tahu karena sampai saat ini pun saya masih mencari tahu dan tidak akan pernah berhenti mencari tahu.

Bagaimana cara untuk mencari tahu? Mudah saja. Bergaul dengan mereka. Tetapi, saya tidak kenal mereka? Untuk bergaul, Anda tidak harus mengenal mereka. Anda cuma harus mencari tahu cara berpikir mereka, cara berbicara mereka, cara bersikap mereka, dsb. Dari yang saya amati, mereka sudah cukup membuka diri. Anda bisa baca buku-buku tentang mereka, baik yang ditulis sendiri atau yang ditulis orang lain. Anda bisa ikuti seminar-seminar di mana mereka menjadi pembicaranya. Bahkan, kalau cukup beruntung, mereka bisa Anda temukan di Facebook.

Jadi, untuk menjadi bagian lingkaran ‘elite’ 20% tersebut, Anda perlu banyak belajar dari orang-orang yang sudah menjadi anggotanya. Anda memerlukan mentor yang bisa membimbing Anda untuk memasuki kelompok minoritas tersebut. Kabar baiknya, mentor atau pembimbing itu ada di mana-mana kalau Anda mau mencarinya. Tidak sulit, bukan?

Menjadi Pemimpin yang Berjiwa Besar a la Al Gore

Al Gore adalah Wapres Amerika di zaman Bill Clinton memerintah sejak tahun 1992. Setelah masa bakti Clinton berakhir pada tahun 2000 dan tidak bisa mencalonkan diri lagi karena sudah dua periode menjabat, Al Gore-lah yang melanjutkannya sebagai calon dari Partai Demokrat pada pilpres tahun 2000. Kompetitor Al Gore saat itu adalah calon dari Partai Republik, George W. Bush, Gubernur Texas, yang juga putra dari Presiden Amerika periode 1988-1992, George Bush, Sr.

Pilpres tahun 2000 dikenal sebagai salah satu pilpres yang paling kontroversial dalam sejarah politik di Amerika. Setelah pemungutan suara diadakan, hasilnya menunjukkan Al Gore memimpin jumlah perolehan suara secara nasional (popular vote), tetapi kalah dalam jumlah perwakilan pemilih (electoral vote). Karena sistem pilpres di Amerika menggunakan sistem electoral vote, bukan popular vote seperti di Indonesia, maka George W. Bush-lah yang berhak menjadi presiden terpilih.

George Bush bisa memimpin jumlah electoral vote karena dia menang di negara-negara bagian lebih banyak daripada Al Gore, sehingga jumlah wakil-wakilnya yang berhak memilih juga lebih banyak. Sedangkan Al Gore, meskipun kalah electoral vote-nya, tetapi jumlah suaranya secara nasional lebih banyak daripada George Bush karena Al Gore menang di bebarapa negara bagian yang berpenduduk padat.

Kalau Anda bingung, kasusnya mirip (meskipun tidak sama) seperti pilpres tahun 1999 di Indonesia. Saat itu pemenang pemilu dengan suara terbanyak adalah PDIP, tetapi presiden yang dipilih oleh para wakil rakyat di MPR adalah Gus Dur dari PKB, bukan Megawati dari PDIP.

Masalah tidak berhenti sampai di situ. Ada indikasi kecurangan terjadi, yaitu di negara bagian Florida, yang gubernurnya adalah adik George Bush. Saat itu, di Florida, George Bush menang tipis atas Al Gore. Kalau Gore menang di Florida, bisa dipastikan electoral vote-nya akan mengungguli George Bush. Sistem electoral vote adalah winner takes all. Artinya, bila Gore menang di Florida, seluruh kursi perwakilan dari Florida akan menjadi jatahnya.

Kubu Gore menengarai ada kecurangan dan mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka mati-matian berusaha karena inilah harapan satu-satunya bagi Gore. Setelah bersidang, pengadilan memutuskan untuk mengadakan penghitungan suara ulang (bukan pemungutan suara ulang) alias re-count khusus di negara bagian Florida (mirip kasusnya pilgub Jawa Timur, antara Sukarwo vs. Khofifah). Drama menegangkan di seputar penghitungan suara ulang ini juga sempat dibuat film-nya dengan judul Re-Count.

Setelah re-count dilakukan, hasilnya tetap memenangkan Bush dengan keunggulan yang sangat tipis. Kubu Gore tetap tidak puas dan ingin mengajukan gugatan lagi. Tetapi, di sinilah kenegarawanan seorang Al Gore muncul. Gore mengatakan kepada tim suksesnya untuk berhenti.

“Cukup sudah. Bila kita terus mempermasalahkan hal ini, negara yang akan rugi,” kata Gore.

“Terima kasih atas usaha keras kalian. Saya tidak akan melupakannya dan tidak akan bisa membalasnya. Suatu kebanggaan bisa bekerja sama dengan orang-orang seperti Anda semua,” ucap Al Gore kepada jajaran tim suksesnya.

Setelah itu, Al Gore mengucapkan selamat kepada presiden terpilih, George W. Bush, dan mengatakan akan mendukungnya untuk memimpin Amerika. Sebuah sikap seorang negarawan yang berjiwa besar sudah ditunjukkan oleh Al Gore.

Anda semua bisa membayangkan bila ada di posisi seperti Al Gore. Jumlah pemilihnya terbanyak, tetapi tidak bisa menjadi presiden, dan ada indikasi dicurangi. Jujur saja, saya takut membayangkan kalau kasus seperti ini terjadi di Indonesia. Akankah para elite politik di Indonesia bisa bersikap seperti Gore yang tetap berjiwa besar meski dicurangi sekali pun?

Saat ini, di usia yang belum terlalu tua, Al Gore sudah pensiun dari dunia politik dan berkecimpung sebagai aktivis lingkungan hidup yang sangat concern untuk mencegah kerusakan bumi oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.

Bagi saya, Al Gore adalah seorang idola. Dia memang tidak pernah menjabat sebagai presiden, tetapi namanya layak disejajarkan dengan negarawan-negarawan besar dari Amerika lainnya, seperti: George Washington, Thomas Jefferson, Benjamin Franklin, Abraham Lincoln, Ulysses Grant, Theodore Roosevelt, Franklin Delano Roosevelt, Dwight Eisenhower, John F. Kennedy, dan Barrack Obama.

Saya merindukan sosok pemimpin seperti Al Gore di Indonesia. SBY sudah pernah menunjukkan lewat kata-katanya bahwa beliau akan berjiwa besar dan mengucapkan selamat kepada yang menang. Tetapi, sayangnya, SBY tidak akan pernah bisa membuktikan kata-katanya tersebut karena SBY belum pernah kalah.

Sumantri dan Sukasrana

Dalam dunia pewayangan, ada sebuah cerita yang mengisahkan tentang dua bersaudara, Sumantri dan Sukasrana. Sumantri adalah seorang pemuda yang sakti, gagah, tampan, santun dan halus budi pekertinya. Sedangkan adiknya, Sukasrana, adalah seorang pemuda dengan fisik yang kurang sempurna, buruk rupa, cebol (kerdil), bandel, tetapi sangat jujur, baik hati dan sakti mandraguna. Sukasrana juga sangat mencintai kakaknya. Kemana pun Sumantri pergi, Sukasrana yang buruk rupa ini selalu mengikutinya.

Suatu ketika, ada seorang putri kerajaan yang sangat cantik jelita. Sumantri jatuh cinta kepadanya dan ingin melamarnya. Sang putri menerima lamaran Sumantri, tetapi dengan satu syarat, yaitu: Sumantri harus membuatkan Taman Sriwedari yang indah dan megah untuknya dalam waktu satu malam saja.

Sumantri pun kebingungan. Membuat sebuah taman dalam waktu semalam hampir mustahil baginya. Kesaktiannya belum sehebat itu. Harapan satu-satunya hanyalah kepada Sukasrana, adiknya yang sakti mandraguna. Akhirnya, Sukasrana pun berhasil membuat Taman Sriwedari yang disyaratkan hanya dalam tempo satu malam. Sumantri pun berhasil mempersunting sang putri idamannya.

Keberhasilan ini sangat membuat gembira Sumantri. Tetapi, selain rasa gembira, terbersit kekhawatiran di hatinya. Dia takut orang-orang, terutama sang putri, mengetahui bahwa yang membuat taman itu bukanlah dirinya, tetapi adiknya yang buruk rupa, Sukasrana. Selain itu, dia juga malu dengan kelakuan Sukasrana yang tidak santun dan berbudi pekerti seperti dirinya. Apalagi, Sumantri juga akan dicalonkan menjadi raja menggantikan mertuanya. Singkat kata, dengan terpaksa Sumantri mengusir adiknya dan memintanya untuk tidak mengikutinya lagi.

Dengan berat hati, Sukasrana menuruti perintah sang kakak yang sangat dicintainya. Perasaannya terluka. Tetapi, di dalam hatinya yang terdalam, ia bahagia karena sudah berhasil membantu kakak yang disayanginya. Ia rela berkorban asal kakaknya bahagia. Betapa mulia hati seorang Sukasrana. Akhirnya, si buruk rupa yang berhati emas pun pergi mengembara, sedangkan si gagah yang mempesona berhasil menjadi raja.

Beribu-ribu tahun kemudian, Sumantri dan Sukasrana pun mengalami reinkarnasi atau kelahiran kembali. Pada saat itu, Sumantri menjadi seorang calon kepala desa dan Sukasrana menjadi calon wakilnya di sebuah desa yang bernama Sriwedari. Mereka berdua akhirnya berhasil terpilih sebagai kepala desa dan wakilnya untuk periode delapan tahun ke depan.

Selama delapan tahun, mereka bekerja sama membangun desa Sriwedari. Di sini, Sukasrana sangat berperan karena dia adalah pemimpin partai yang mempunyai suara terbanyak di desanya. Sedangkan Sumantri adalah pemimpin partai baru yang saat itu belum terlalu besar pendukungnya.

Berbagai macam kebijakan atau ide Sukasrana, yang memang cerdas dan cepat dalam mengambil keputusan, sangat bermanfaat bagi rakyat desanya. Desa Sriwedari pun tumbuh menjadi desa yang makmur. Semua warga memuja mereka berdua, terutama Sumantri, yang banyak menjadi idola kaum muda di desanya. Meskipun cenderung ragu-ragu dan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan, Sumantri berhasil memikat warga dengan posturnya yang rupawan, gagah mempesona, budi pekertinya, sopan santunnya, dan keahliannya dalam berbicara.

Berbeda dengan Sukasrana, meskipun banyak ide-ide yang keluar dari pemikirannya, warga kurang memberi apresiasi kepadanya. Gaya bicaranya yang ceplas-ceplos tanpa tedeng aling-aling dan panampakan fisiknya yang tidak rupawan ala Budi Anduk, membuatnya tidak terlalu populer di kalangan warga desa. Selain itu, karakternya yang selalu bertindak cepat dan penuh inisiatif, pada akhirnya membuat Sumantri, sang kepala desa, resah dan khawatir. Sumantri merasa kesulitan mengendalikan ‘kelincahan’ Sukasrana.

Singkat cerita, delapan tahun pun berlalu dengan cepatnya. Musim pemilihan kepala desa sudah di depan mata, yang sebelumnya didahului dengan pemilihan anggota BPD (Badan Perwakilan Desa). Kali ini, partai Sumantri yang meraih kemenangan. Partai yang dipimpinnya, yaitu Partai Bintang Desa, berhasil menguasai perolehan kursi anggota BPD, mengungguli partai Sukasrana, Partai Beringin Raya.

Dengan modal politik yang dimilikinya, Sumantri berhasrat maju kembali pada pemilihan kepala desa (pilkades) selanjutnya. Tetapi, kali ini tanpa Sukasrana disampingnya. Sumantri memutuskan untuk mencari calon wakil kepala desa yang baru karena dia merasa sudah ‘kerepotan’ dengan berbagai ‘manuver’ yang dilakukan oleh Sukasrana selama menjabat sebagai wakil kepala desa periode sebelumnya. Dia merasa sudah memelihara anak macan, dan saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyingkirkannya.

Sukasrana, yang sebenarnya sangat berhasrat untuk berdampingan kembali dengan Sumantri, terpaksa gigit jari. Dia tidak ingin berpisah dengan Sumantri karena selama ini sudah merasa bisa bekerja sama dengan baik membangun desa. Tetapi, apa mau dikata. Kenyataan berkata lain. Akhirnya, dengan berat hati, Sukasrana pun memutuskan untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa, berhadap-hadapan dengan sang incumbent, Sumantri.

Sebuah keputusan nekat sudah diambil oleh Sukasrana. Dengan modal kepopuleran yang sangat rendah, kecil peluangnya untuk terpilih dan mengalahkan Sumantri sebagai kepala desa. Tetapi, hal itu tidak menyurutkan langkahnya. Baginya, membangun desa adalah sebuah kewajiban dan sebuah amanah yang sangat mulia. Dia juga yakin, warga desa akan mendukungnya kalau sudah tahu siapa dia sebenarnya.

Singkat cerita, pilkades pun dilangsungkan. Dan hasilnya sesuai dengan yang diprediksikan sebelumnya. Sejarah seperti terulang kembali. Sriwedari tetap menjadi milik Sumantri yang akhirnya terpilih kembali menjadi kepala desa, melanjutkan pemerintahan dengan didampingi wakilnya yang baru. Sedangkan Sukasrana kembali menjadi orang biasa yang tidak pernah berhenti mencintai dan membaktikan hidup demi desanya.

Inilah kehidupan. Orang yang berjasa belum tentu dihargai oleh setiap manusia. Tetapi, saya yakin, orang yang berjasa akan mendapat pahalanya sendiri dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Don’t Judge a Book by It’s Cover

Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji.

Sang sekretaris universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge. "Kami ingin bertemu pimpinan Harvard," kata sang pria lembut. "Beliau hari ini sibuk," sahut sang sekretaris cepat. "Kami akan menunggu," jawab sang wanita.

Selama empat jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pimpinan. "Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.

Sang pimpinan Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. Bolehkan?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang pimpinan Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."

"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard." Sang pimpinan Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang pimpinan Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya mengangguk. Wajah sang pimpinan Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California. Di sana mereka mendirikan sebuah universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

(Sumber: dari sebuah mailing-list)

Dalam menilai sesuatu, seringkali kita seperti pimpinan Harvard itu, acap silau oleh baju dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai karena baju-baju acap menipu.

Demikian juga yang saya amati ketika sedang berbelanja buku. Saya mendapati buku-buku yang menjadi best seller di toko buku kebanyakan adalah buku-buku yang mempunyai cover menarik dan ditulis oleh orang-orang yang sudah mempunyai nama ‘besar’ dan populer. Saya tidak mengatakan buku-buku yang ‘menarik’ tersebut tidak bermutu. Yang ingin saya kritisi, sebagai pembaca, kadang-kadang saya juga menemukan sebuah buku yang ternyata sangat bagus, menurut penilaian saya, tetapi kurang laku dan letaknya ‘nyelempit’ di rak buku yang tidak mudah dijangkau. Setelah saya teliti, ternyata buku tersebut ditulis oleh orang yang ‘tidak dikenal’ dan penerbitnya dari ‘antah-berantah’ serta covernya ‘asal-asalan’. Intinya, secara kemasan sangat tidak menarik, tetapi brilian isinya.

Fenomena ini juga terjadi di situs jejaring sosial facebook. Teman-teman saya di situs itu sangat beragam, mulai dari politisi, artis, penulis, motivator, profesional, pengusaha, wartawan, guru, dosen, atlet, ibu rumah tangga, rekan bisnis, teman sekolah, teman kuliah, dsb. Pokoknya, mulai dari orang-orang yang terkenal sampai orang-orang yang tidak saya kenal sebelumnya.

Dari sekian ratus teman-teman saya di dunia maya tersebut, banyak yang mem-posting catatan atau sekedar meng-update statusnya setiap hari. Nah, saya amati, bila yang mem-posting catatan atau status adalah teman-teman yang mempunyai nama ‘besar’, maka dengan segera puluhan bahkan ratusan orang yang menyatakan ‘suka’ dan memberikan komentar. Sedangkan bila yang mem-posting teman-teman yang ‘biasa’, seringkali tidak ada satu pun yang menyatakan ‘like’ atau memberi ‘comment’. Padahal, posting-an teman-teman yang ‘biasa’ ini acapkali lebih bermutu (menurut saya) daripada posting-an teman-teman dengan nama ‘besar’ tersebut. Tetapi, bukan berarti posting-an nama-nama ‘besar’ itu tidak bagus, lho...

Dalam hal menghargai sesuatu atau seseorang, tampaknya kita memang harus banyak belajar dari Amerika. Pada bulan November 2008 lalu, bangsa tersebut sudah membuktikan dirinya mampu memberikan penilaian yang objektif, bukan subjektif. Ya, dengan terpilihnya Barrack Obama sebagai presiden keturunan Afro-Amerika pertama, menjadi tanda bahwa mayoritas orang-orang Amerika sudah mementingkan substansi (pokok, inti, atau isi yang terkandung di dalam) daripada figur atau citra luar seorang pemimpin.

Ada yang mengatakan, dan saya setuju sekali dengan pendapat ini, kalau kasus seperti Barrack Obama vs. John McCain terjadi di Indonesia, bisa dipastikan McCain yang akan menang. Mayoritas orang-orang di Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh figur daripada gagasan/ide dalam menentukan pilihannya. McCain, seorang kulit putih yang sepuh tapi masih ganteng dan gagah itu pasti lebih digemari. Apalagi, dia adalah pensiunan tentara, pahlawan perang dan berpengalaman puluhan tahun dalam dunia politik. Rambutnya yang putih beruban juga semakin meneguhkan dirinya sebagai seorang ‘begawan’ yang bijaksana. Bisa dipastikan figur seperti ini akan ‘membius’ pemilih-pemilih di Indonesia. Bandingkan dengan Obama yang kurus, keriting, berkulit hitam (dari kaum minoritas), anak Menteng (asalnya dari negeri antah-berantah), masih muda, dan lebih minim pengalaman politik daripada McCain (kita bisa mengibaratkan posisi Obama saat itu sebagai keturunan Tionghoa dan beragama Buddha yang mencalonkan diri menjadi capres Indonesia). Bisa-bisa akan muncul pernyataan dari tim kampanye pesaingnya: “Kaum minoritas belum saatnya menjadi presiden Indonesia.”

Di Indonesia, kuantitas; bungkus; kemasan; baju; penampilan; dan citra (image) masih sangat dominan mempengaruhi opini masyarakat dibandingkan kualitas; substansi; dan isi (content). Elektabilitas SBY yang jauh lebih tinggi dibandingkan pesaing-pesaingnya dalam pilpres 2009 (menurut hasil quick count) membuktikan teori ini. Dalam hal pencitraan atau ‘jaga image’, SBY memang sangat brilian dan unggul jauh dibanding kompetitornya. Penampilannya yang selalu rapi dan necis, fisiknya yang gagah, sikapnya yang santun, gaya bicaranya yang sopan dan terstruktur rapi, sifatnya yang pendiam dan terlihat ‘berwibawa’, menjadi ‘bungkus’ yang memikat banyak orang, apalagi ditunjang dengan sumber daya politik yang besar karena posisinya sebagai incumbent, membuat SBY menjadi sosok yang ‘undefeatable’ alias tidak terkalahkan dalam ‘membirukan’ Indonesia. Padahal, dalam soal isi (content) atau gagasan yang ditawarkan, saya pikir SBY tidak lebih baik dibandingkan lawan-lawannya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan kalau ada calon lain yang menawarkan program yang lebih berkualitas, SBY tetap akan terpilih karena orang-orang sudah ‘terbius’ dengan pesonanya.

Dari contoh-contoh di atas, saya menyimpulkan bahwa kemasan memang penting, tetapi ada yang lebih penting lagi, yaitu isi. Saya juga mulai untuk membiasakan diri belajar dari SIAPA PUN dan APA PUN karena yang saya cari adalah substansinya, bukan figurnya. Apa yang dibawa, bukan siapa yang membawa. Yang cantik, belum tentu menarik dan yang menarik, belum tentu baik. Nama-nama ‘besar’ dan populer tersebut memang baik (dan menarik), tetapi mereka bukan Tuhan yang sempurna. Mereka juga bisa membuat kesalahan. Jadi, berhentilah mengkultuskan individu seakan-akan mereka semua adalah dewa. Berikan apresiasi atau penghargaan secara objektif kepada yang layak, siapa pun orangnya. Don’t judge a book by it’s cover. Jangan menilai (isi) buku berdasarkan sampulnya saja, tetapi baca dulu sampai tuntas, setelah itu baru beri penilaian sesuai dengan perspektif Anda masing-masing. Kalau positif, lanjutkan! Kalau negatif, HANYUTKAN!

Sedikit tambahan, dalam mengapresiasi sesuatu atau seseorang, jangan takut untuk mengkritik nama-nama ‘besar’ tersebut bila (menurut Anda) ada yang tidak sesuai karena kritik itu membangun. Kritik itu seperti obat, pahit, tapi dibutuhkan asal dosis dan waktunya tepat.

Saya sendiri memang suka mengkritik, tetapi saya lebih suka dikritik karena kritikan tersebut saya anggap sebagai peringatan bahwa saya masih seorang manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Bayangkan, kalau saya tidak pernah dikritik, mungkin saya akan menjadi orang yang pongah dan sombong. Mungkin saya akan merasa diri saya sudah matang. Dan kabar buruknya, buah yang sudah matang selanjutnya akan menjadi busuk, entah karena membusuk dengan sendirinya atau karena sudah melalui saluran pencernaan yang mengkonsumsinya. Lebih baik dikritik daripada dibiarkan membusuk. Lagi pula, makin dikritik, makin menarik. Lebih kritis, lebih dinamis. Betul?

July 06, 2009

Negarawan Sejati

Kemarin dalam Debat Capres terakhir, hanya satu kandidat yang ketika ditanya apa yang akan dilakukan bila kalah, jawaban pertamanya, "Saya akan memberikan ucapan selamat kepada yang menang..... dan akan meminta semua pendukung saya mendukung beliau yang menang." Ini negarawan namanya, dan cuma satu yang menyatakan itu.

Di atas adalah posting-an status salah seorang teman saya di facebook beberapa hari yang lalu.

Saya menghormati (bukan berarti sepakat) pendapat yang mengatakan bahwa salah seorang kandidat atau para kandidat yang lain adalah seorang negarawan karena saat ini tidak ada kriteria yang jelas tentang apa itu negarawan (ada yang bisa membantu?). Yang sangat tidak saya sepakati adalah pendapat yang HANYA menilai kenegarawanan itu didasarkan atas ucapan saat debat.

Menurut saya, masih terlalu dini menyebut para kandidat tersebut seorang negarawan kalau HANYA berdasarkan kata-katanya (sekedar retorika belaka) karena seorang negarawan dilihat dari tindakan dan perbuatannya. Saya baru akan menyebut mereka NEGARAWAN sejati kalau sudah benar-benar KALAH, lalu mengucapkan selamat kepada si pemenang dan meminta semua pendukungnya untuk mendukung yang menang, bukan pura-pura, bukan basa-basi, kalau perlu koalisi (lalu siapa yang jadi oposisi?). Masalahnya, apakah itu akan menjadi kenyataan? Tampaknya gelar negarawan itu masih harus disimpan cukup lama karena gelar presiden-lah yang sepertinya (bila menang) lebih pantas disandang selama lima tahun mendatang.

Yang pasti, dalam perspektif saya, gelar negarawan adalah gelar yang MULIA (setara dengan PAHLAWAN) dan hanya PANTAS disandang oleh seseorang yang sudah membaktikan hidup-matinya kepada bangsa dan negara lewat bidangnya masing-masing, tanpa sekali pun tergiur oleh kekuasaan atau pun kekayaan (kalau pun harus berkuasa, itu karena keadaan yang memaksa dan mengharuskan mereka naik tahta – tidak ada orang lain yang pantas dan bisa).

Gajah Mada adalah negarawan sejati karena seumur hidupnya dibaktikan kepada kejayaan Majapahit tanpa mengejar kenikmatan duniawi (sumpah palapa benar-benar dilakukan, bukan hanya sekedar slogan kampanye), termasuk membuang jauh-jauh ambisi untuk menjadi raja (padahal dia punya peluang untuk itu).

Mahatma Gandhi adalah negarawan sejati karena sepanjang hayatnya dibaktikan untuk kemerdekaan India tanpa keinginan untuk menjadi presiden atau pun perdana menteri (padahal banyak pihak yang mendukungnya) dan tetap hidup sederhana (miskin, lebih tepatnya) sampai maut menjemputnya.

Che Guevara adalah negarawan sejati karena rela mengorbankan nyawanya demi memperjuangkan kebebasan dan memimpin rakyat miskin di negara-negara Amerika Latin (padahal dia, yang sebenarnya adalah seorang dokter, sudah diberi jabatan ‘empuk’ sebagai salah seorang menteri oleh Fidel Castro di Kuba, tetapi dia menolaknya dan memilih untuk hidup sengsara dengan bergerilya di hutan belantara sampai akhir hidupnya).

Nelson Mandela adalah negarawan sejati, meskpun dia pernah menjabat sebagai presiden Afrika Selatan yang pertama, sebelumnya dia sudah merelakan dirinya mendekam selama 27 tahun di penjara rezim apartheid dan dia siap mati demi menghapuskan rasialisme dari bumi Afrika.

Bisma Dewabrata (dalam Epos Mahabharata) adalah negarawan sejati karena sudah mengorbankan haknya untuk naik tahta demi keutuhan Astinapura (semula dia adalah anak tunggal dan putra mahkota kerajaan Astinapura). Dia pun rela mengorbankan jiwanya demi kejayaan Astinapura dalam perang Bharatayudha di Kurusetra.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah negarawan sejati (bukan politisi, karena itu gagal terus dalam berpolitik) karena sudah mengabdikan hidupnya demi membela keutuhan NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan fisiknya yang sudah sakit-sakitan, dengan kejujurannya yang ceplas-ceplos tanpa retorika, beliau masih tetap mengayomi yang lemah dan membela yang benar, bukan yang bayar, meskipun terus-terusan digembosi dan diganggu oleh pihak yang tidak menyukainya (atau penguasa yang takut kalah populer, lebih tepatnya). Beliau naik tahta bukan karena keinginannya, tetapi karena dipaksa, dan dilengserkan juga dengan paksa oleh para politisi.

Demikian juga dengan Bung Karno, Bung Hatta dan Sutan Sjahrir, mereka adalah beberapa dari sederet negarawan-negarawan sejati lainnya yang pernah dimiliki oleh Indonesia.

Pertanyaan saya: Adakah di antara para kandidat dalam ‘pesta’ demokrasi tahun 2009 ini yang PANTAS disejajarkan dengan negarawan-negarawan sejati seperti yang saya sebutkan di atas? Terserah opini Anda masing-masing. Bagi saya, BELUM (bukan berarti tidak) ada yang pantas. Mereka baru sebatas politisi, bukan negarawan sejati. Entah kalau di kemudian hari.

Kesalahan Fatal

Ada seorang suami yang baik hati, bertanggung jawab, dan selalu memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Suatu hari, si suami ini membuat sebuah kesalahan dengan berselingkuh dengan wanita lain. Ini adalah sebuah kesalahan fatal menurut sang istri. Saya tidak menyalahkan kalau si istri sangat sakit hati atas tindakan suaminya tersebut, meskipun banyak orang menyarankan dia untuk mengampuninya, mengingat sederet kebaikan yang sudah pernah dilakukan suaminya selama ini. Bagi Anda para wanita, bila pasangan Anda selingkuh, itu adalah kesalahan yang sangat menyakitkan, bukan? Sebuah kesalahan fatal yang harus dibayar dengan sangat mahal dan tidak mudah dimaafkan.

Begitu juga dengan kasus seperti ini: Mungkin Anda mengenal seseorang yang menurut Anda orang tersebut baik, saleh, religius, dsb, tetapi ternyata kehidupannya (misalnya secara ekonomi) memprihatinkan. Sedangkan ada orang lain yang sepertinya tidak terlalu baik, tidak religius, dsb, tetapi kehidupannya serba berkecukupan. Mungkin Anda bertanya-tanya, apakah Tuhan sudah bertindak tidak adil? Kenapa orang yang ‘baik’ dibuat menderita sedangkan orang yang ‘kurang baik’ hidupnya berlebihan?

Ini adalah jawaban versi saya (yang belum tentu benar menurut Anda): Orang baik yang berkekurangan tersebut mungkin sudah pernah melakukan SEBUAH kesalahan fatal dalam hidupnya, mungkin tidak banyak orang yang tahu dan hanya Tuhan yang tahu perbuatan buruknya tersebut. (Dalam ajaran Buddha, ini disebut karma buruk, atau mungkin sangat buruk. Bahkan, bisa saja kesalahan itu dibuat dalam kehidupan sebelumnya karena para pengikut Buddha mempercayai adanya reinkarnasi atau tumimbal lahir).

Sedangkan orang yang ‘kurang baik’ tetapi berkecukupan tersebut, mungkin tidak pernah membuat sebuah kesalahan fatal, hanya ‘ribuan’ kesalahan-kesalahan kecil dan sudah pernah melakukan SEBUAH perbuatan yang amat sangat baik dalam hidupnya atau kehidupan sebelumnya (bila Anda percaya reinkarnasi), di mana mungkin tidak banyak orang yang tahu dan hanya Tuhan yang tahu perbuatan baiknya itu.

Contoh lainnya: Andaikata Anda mempunyai dua orang anak. Keluarga Anda adalah keluarga yang ‘tidak kaya’ dan sederhana. Anak yang pertama sangat sayang dan perhatian kepada Anda dan dia selalu menghargai pemberian Anda. Suatu saat, anak pertama ini terlibat dalam suatu kasus kejahatan, misalnya membunuh dan memutilasi orang (seperti kasusnya Rian Jombang). Sedangkan anak yang kedua tergolong anak yang ‘bersih’ dan tidak pernah berbuat suatu kejahatan. Tetapi, suatu saat dia menyakiti hati Anda dengan mengatakan Anda orang tua miskin yang tidak bertanggung jawab karena tidak bisa memberikan banyak hal kepadanya. Kira-kira mana yang lebih Anda sayangi, anak pertama yang mutilator tersebut atau anak kedua yang sudah pernah menyakiti hati Anda? Mutilasi atau pembunuhan adalah sebuah kejahatan besar di muka hukum. Tetapi, di hati Anda sebagai orang tua, mungkin tindakan anak kedua lebih pantas dihukum seberat-beratnya.

Sudah menjadi persepsi umum di dalam masyarakat bahwa kesalahan-kesalahan besar adalah perbuatan yang illegal dan melanggar hukum, seperti membunuh, memperkosa, merampok, mencuri, mengkorupsi uang rakyat, mengedarkan narkoba, melacurkan diri, mencemarkan nama baik seseorang, dll, yang sering menjadi headline di media massa. Tetapi, tidak banyak yang menyadari bahwa sebuah perbuatan yang kita anggap ‘sepele’, seperti kemalasan, ketidakadilan, kemunafikan, kebohongan, ketidakjujuran, ketidaksetiaan, dsb, seringkali lebih berakibat fatal dan menyakitkan bagi orang-orang tertentu daripada rentetan penyakit masyarakat seperti yang saya sebutkan di atas.

Wah, kalau begitu kita harus menjadi manusia yang tanpa cacat sedikit pun? Tidak. Bukan itu yang saya maksud. Sebagai manusia, kita pasti membuat banyak kesalahan karena tidak ada manusia yang sempurna. Yang harus kita pahami, sebuah kesalahan, meskipun cuma sekali, tetapi kalau menyakitkan, akan fatal akibatnya. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Berhati-hatilah, jangan sampai membuat orang lain, terutama orang-orang yang mencintai kita, sakit hati karena kesalahan fatal yang kita buat. Lebih baik membuat seribu kesalahan kecil daripada satu kesalahan fatal. Seribu kesalahan kecil bisa ditebus dengan satu kebaikan besar. Tetapi, satu kesalahan fatal sulit dilunasi dengan apa pun, bahkan dengan seribu kebaikan besar sekali pun.

Nah, bagi Anda yang mungkin sudah pernah melakukan sebuah kesalahan fatal, jangan berkecil hati terlebih dahulu dengan tulisan saya di atas. Ambil hikmahnya. Jadikan sebagai pembelajaran untuk memperbaiki kehidupan Anda. Orang yang menyadari dan mengakui kesalahannya adalah orang yang patut diberi kesempatan kedua. Dan yakinlah, meskipun tidak ada orang yang mau memaafkan, harapan akan selalu ada karena Anda masih memiliki Tuhan. Dengan bertobat, saya percaya Anda masih bisa terselamatkan karena Tuhan bukan manusia yang tidak mudah memaafkan.

PS:
Ada sebuah film lawas tahun 80’an berjudul Fatal Attraction yang bercerita tentang perselingkuhan dan dibintangi (kalau tidak salah) oleh Michael Douglas (lawan main Sharon Stone dalam Basic Instinct) dan Kim Bassinger. Mungkin bisa menjadi bahan pelajaran bagi kita semua.

Kebebasan atau Keamanan?

Bila diharuskan untuk memilih, mana yang Anda pilih antara bebas atau aman? Saya tahu ini adalah sebuah pilihan yang sulit karena setiap orang, kalau bisa, memilih dua-duanya, bebas DAN aman. Kabar buruknya, Anda tidak bisa melakukannya karena mereka adalah dua hal berbeda yang tidak bisa dinikmati bersama.

Anda tahu, tempat yang paling aman di dunia adalah tempat yang paling tidak bebas. Penjara, seperti di Pulau Nusakambangan, adalah tempat yang paling aman, karena itu namanya ‘supermaximum security’ alias keamanan supermaksimum. Jadi, rasa aman yang Anda dapatkan harus dibayar dengan ketidakbebasan. Demikian juga sebaliknya, rasa bebas yang Anda nikmati harus ditebus dengan ketidakamanan. Ini adalah sebuah hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat.

Nah, kembali pada soal pilihan di atas, mana yang akan Anda pilih? Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 80% orang memilih keamanan daripada kebebasan (beberapa penelitian yang lain menunjukkan angka yang lebih tinggi, mencapai di atas 90%). Oleh karena itu, jangan heran bila saat ini banyak orang yang terlihat bebas, tapi sebenarnya mereka hidup di dalam ‘penjara’ pilihannya sendiri. Keamanan seolah-olah sudah menjadi candu yang membius banyak orang untuk melupakan kebebasan.

Berapa banyak orang yang sepanjang hayatnya bertahan menjadi karyawan, padahal di dalam hatinya yang terdalam, mereka tidak ingin seumur hidup menjadi orang gajian? Sangat banyak sekali, bukan? Mereka ‘terpaksa’ menjadi pegawai karena lebih memilih ‘rasa aman’ dibandingkan dengan ‘rasa bebas’ yang ditawarkan bila mereka berwirausaha secara mandiri. Mereka lebih memilih untuk tergantung pada ‘bos’ daripada menjadi ‘bos’ bagi diri sendiri. Mereka semua sudah menciptakan ‘Nusakambangan’ bagi dirinya sendiri. Apakah itu menyenangkan? Sungguhkah mereka ingin terus melanjutkan seperti itu? Apakah pekerjaan yang mereka benci sungguh satu-satunya harapan bagi mereka? Coba lihat ke sekitar. Siapa pun mereka, kebebasan di sisi yang lain pasti tersedia. Lanjutkan memilih yang aman atau berubah memilih yang bebas? Ini semua adalah soal PILIHAN.

Yang juga menjadi tanda tanya besar bagi saya, kenapa saat ini banyak orang Indonesia yang memilih aman, padahal dulu bangsa Indonesia sebenarnya sudah memilih kebebasan? Tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai konstitusinya, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa. Proklamasi Kemerdekaan itulah yang menjadi simbol pilihan bangsa kita. Bagi para founding fathers (para pendiri bangsa) dan para pemuda-pemudi Indonesia saat itu, kemerdekaan atau kebebasan adalah HARGA MATI yang tidak bisa digadaikan dengan apa pun, termasuk keamanan (nyawa masing-masing).

Kalau bangsa ini memilih aman, waktu itu kita sudah menyerah kepada sekutu (Belanda). Bila hal itu kita lakukan, mungkin saat ini kita sudah menjadi negara persemakmuran Belanda (seperti halnya Malaysia yang menjadi negara persemakmuran Inggris sampai sekarang). MUNGKIN kita bisa menjadi ‘sedikit’ lebih maju seperti Malaysia, bila dikuasai oleh Belanda, tetapi yang pasti, kita tidak akan bebas.

Saat ini juga, bila kita masih ingin memilih yang aman, kita bisa melanjutkan ketergantungan kita pada pihak asing, melanjutkan penambahan hutang-hutang luar negeri, melanjutkan penyerahan asset-asset dan kekayaan negara kepada pihak asing daripada mengelolanya sendiri, melanjutkan apatisme, melanjutkan ketidakmandirian, melanjutkan pekerjaan kita sebagai karyawan seumur hidup, dsb. Apakah kita ingin terus seperti ini? Saya percaya ada di antara kita yang ingin berubah, sebagian kecil yang ingin bebas dan mandiri di antara sebagian besar yang masih ingin meringkuk dalam zona nyaman dan aman serta melanjutkan ketergantungan kepada orang lain.

Saya sendiri, dengan penuh kesadaran, MEMILIH untuk menjadi bagian minoritas yang berpihak pada kebebasan. Konsekuensinya, ‘rasa’ aman dan nyaman yang saya korbankan. Memang, terdengar sangat idealis, tetapi, dalam perspektif saya, ‘rasa’ aman ibarat ekstasi yang membuai, menawarkan kenikmatan ‘semu’, dan akhirnya akan merusak sel-sel syaraf di dalam otak saya karena sebenarnya TIDAK ADA YANG AMAN di dunia ini. Yang NYATA hanyalah kebebasan dan tidak ada yang lebih berharga dibandingkan kebebasan. Saya juga tidak akan menukar kebebasan dengan apa pun. Dan saya sangat bahagia dengan pilihan saya tersebut, karena andai saya memilih hidup yang aman, saya tidak akan pernah tahu bagaimana nikmatnya kebebasan.